Rabu, 31 Maret 2010

POKOK-POKOK HUKUM ISLAM

BAB I
AGAMA ISLAM DAN ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG
DI DALAMNYA

A. Pengertian Agama Islam
Untuk dapat mempelajari Hukum Islam dengan baik terlebih dahulu harus mempelajari tentang agama Islam. Hal ini disebabkan hubungan antara Hukum Islam/Fiqh Islam di satu pihak dengan Agama Islam di lain pihak adalah sangat erat, dan satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Tanpa mempelajari kaaidah-kaidah agama Islam terlebih dahulu akan sulit untuk mempelajari Hukum Islam, sebab setiap kaidah Hukum Islam tidak terlepas dari agama Islam. Agama Islam adalah induk atau asal dari hukum Islam, sehingga hukum Islam adalah bagian dari agama Islam (M.D. Ali, 1996: 27).
Pengertian dari agama Islam adalah agama yang disampaikan oleh para nabi berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang terakhir.
Islam sebagai agama adalah nama resmi yang diberikan oleh Allah sendiri dan bukan nama yang diciptakan oleh para pemeluk agama itu. Hal ini dapat dibuktikan dalam Firman-firman Allah yang tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur’an antara lain yaitu:
1. Firman Allah:
“...... Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu .......”
(Q.S. Al-Maidah : 3).
2. Firman Allah:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam .......”
(Q.S. Ali Imran : 19).
Dengan memahami isi dari dua ayat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah nama resmi dari Allah terhadap agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada nama lain yang dikenal/dipahami untuk memberi nama agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW itu.
Di dunia Barat terutama di Negeri Belanda agama Islam terkenal dengan nama Muhammedanisme. Istilah ini pada dasarnya adalah tidak benar, karena dengan memberikan nama Muhammedanisme seolah-olah menganggap bahwa Agama Islam adalah ajaran pribadi dari Nabi Muhammad SAW untuk diajarkan kepada seluruh umat manusia. Jadi apa yang diajarkan atau diucapkan dan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW itu bukan ciptaannya sendiri melainkan semuanya berdasarkan perintah dari Allah SWT (Drs. Subardi : 67).
Dan disamping itu di dalam agama Islam dilarang memuja dan menghormati ataupun mengagungkan manusia walaupun itu Nabi Muhammad sendiri sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pendewaan manusia atau menganggap manusia seperti Tuhan. Oleh karena itu istilah Muhammedanisme tidak dikenal oleh umat Islam.

B. Arti Kata Islam
Islam dalam bahasa Arab adalah sebagai kata benda jenis mashdar yaitu kata benda berasal dari kata kerja. Kata kerja asalnya ialah:
1. Aslama
2. Salima
3. Salama.
Aslama itu berarti berserah diri kepada Allah (Q.S. Al-Baqarah : 20), artinya manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya harus mengakui kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun tingginya kemampuan akal pikiran manusia yang berujud menghasilkan berbagai-bagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan tetapi semuanya itu kalau dibandingkan dengan kekuasaan Allah tidak ada artinya.
Hasil potensi manusia yang berujud ilmu pengetahuan misalnya hanya terbatas pada menganalisa dan menyusun bahan-bahan alamiah yang telah ada untuk dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak berarti menciptakan dan tidak ada seperti halnya dengan kekuasaan Tuhan.
Demikian juga terhadap dirinya sendiri pun manusia tidak dapat berkuasa mutlak, walaupun sudah banyak hartanya, sudah tinggi ilmunya, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari sakit, kecewa, sedih, dan akhirnya mati. Maka sebagai orang Islam yang beriman dan mengakui akan kemutlakan kekuasaan Tuhan hanya dapat berusaha secara optimal kemudian disertai dengan berdoa kepada Tuhan, supaya keinginannya dapat tercapai sesuai dengan yang direncanakannya.
Salima berarti menyelamatkan, menentramkan atau mengamankan. Karena salima sebagai kata kerja transitif maka memerlukan obyek, sehingga kata salima berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan orang lain. Jadi sebagai orang Islam maka mereka baik dari ucapan-ucapan maupun tindakannya dituntut senantiasa dapat menimbulkan rasa aman, selamat dan tenteram bagi orang lain.
Salama berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan. Karena salama sebagai kata kerja intransitif, maka tidak memerlukan obyek luar, obyeknya adalah diri sendiri atau batin manusia itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai orang Islam di dalam hidupnya harus selalu merasa tenteram, aman dan selamat tidak mudah putus asa dan frustasi apabila menghadapi cobaan-cobaan dan kesusahan dalam kehidupannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama lahir maupun batin, bagi para pemeluknya harus dapat memenuhi ketiga aspek tersebut di atas yaitu:
pertama, dalam hubungannya vertikal dengan Tuhan manusia hanya bisa berserah diri dan patuh sepenuhnya kepada Tuhan.
kedua, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan sesama umat Islam menghendaki adanya hubungan saling menyelamatkan, menenteramkan dan mengamankan.
ketiga, dalam hubungannya dengan diri pribadi, Islam dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin, kemantapan rohani dan mental.
Orang yang memeluk agama Islam secara umum disebut Muslim.

C. Aspek-aspek Ajaran Islam
Agama Islam itu mengandung beberapa unsur/aspek di dalamnya, namun sebagai suatu agama aspek-aspek itu tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi harus merupakan satu kesatuan dan kebulatan.
Namun untuk memudahkan mempelajari masing-masing aspek yang terkandung di dalam agama Islam, maka aspek yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan. Dan pada dasarnya Agama Islam terbagi atas tiga aspek, yaitu:
1. Bagian yang bertalian dengan aqidah/keimanan. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Kalam.
2. Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Akhlak.
3. Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Fiqh (Khozin Siraj : 2).

D. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah. Hukum ini mengatur berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya (Mohammad Daud Ali, 1996: 39).
Hukum Islam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam;
3. Mempunyai dua istilah kunci yakni: a. syari’at, dan b. fikih
Syari’at terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari’ah;
4. Terdiri dari dua bidang utama yakni: a. ibadat, dan b. muamalat
Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalat dalam arti yang luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa;
5. Strukturnya berlapis, terdiri dari:
a. nas atau teks Al-Qur’an
b. sunnah Nabi Muhammad (untuk syari’at)
c. hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah
d. pelaksanaannya dalam praktek, baik (i) berupa keputusan hakim, maupun (ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fikih);
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala;
7. Dapat dibagi menjadi:
a. hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yaitu lima kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum yakni jaiz, sunnat, makruh, wajib, dan haram.
b. hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum (M.D. Ali, 1996: 52-53).
Selain ciri-ciri di atas, menurut T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam (1975: 156 - 212) sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali (1996: 53), hukum Islam juga mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa saja;
9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan;
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam.
Adapun yang menjadi tujuan Hukum Islam secara umum sering dirumuskan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam) (M.D. Ali, 1996: 53-54).




BAB II
SYARI’AH DAN FIQH

A. Pengertian Syari’ah dan Fiqh
Pada mulanya para ahli berpendapat bahwa pengertian Syari’ah dan Fiqh itu adalah sama yaitu paham tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan. Pendapat ini dalam perkembangannya kemudian mengalami perubahan, yaitu mereka memberikan pengertian yang berbeda antara Syari’ah dan Fiqh. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan pengertian masing-masing dari Syari’ah dan Fiqh.
Syari’ah menurut istilah adalah hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah kepada para hambanya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut arti istilah ini, syari’ah terbagi atas tiga bagian, yaitu:
- Bagian yang bertalian dengan aqidah. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Kalam.
- Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Akhlak.
- Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk dalam Fiqh/Hukum Islam (Khozin Siraj : 2).
Fiqh menurut para Fuqaha, pengertiannya adalah Ilmu tentang hukum-hukum Syari’ah yang berkenaan dengan perbuatan dan amalan manusia dan didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci.
Di samping pengertian seperti yang tersebut di atas ada beberapa ulama yang memberi pengertian Fiqh dilihat dari mana Fiqh ini berasal. Kalau dilihat dari asalnya, maka pengertian Fiqh ialah:
- Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Al Muqaddamah Al Mubtada’ wal Khabar, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang wajib, haram, makruh atau yang mubah yang diperoleh dengan jalan ijtihad dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Nabi.
- Menurut Al Jalalul Mahalli, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum Syara’ yang berhubungan dengan amalan dan perbuatan manusia yang dengan jelas telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi.
- Menurut Abdus Salam Al Qabani, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum mengenai amalan dan perbuatan manusia baik yang sudah jelas diatur dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, dan hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Dari ketiga pendapat tersebut di atas yang berbeda satu dengan yang lainnya, Prof. Hasby Ash Shiddieqy mengemukakan pendapat yang merupakan jalan tengah dari ketiga pendapat di atas, yaitu Fiqh apabila ditinjau dari asalnya dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama, Fiqh yang sudah jelas dan tegas telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi disebut Fiqh Nabawy. Kedua, Fiqh yang diperoleh/dihasilkan dengan jalan ijtihad disebut Fiqh Ijtihadi.
Menurut Mohammad Daud Ali, yang dimaksud dengan syari’ah dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Sedangkan syari’ah dalam arti teknis adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan itu berupa (a) kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah ibadah murni yang mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Tuhan, dan (b) kaidah muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Kaidah ibadah yakni norma yang mengatur cara dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi, sedangkan kaidah muamalah hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad sehingga perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad (berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruh kemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan kaidahnya menurut ruang ruang dan waktu. Adapun Fiqh (fikih) adalah ilmu yang khusus memahami, mendalami syari’ah untuk dapat dirumuskan menjadi kaidah konkrit yang dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Karena syari’ah itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni ilmu syari’ah ibadah dan syari’ah muamalah, maka ilmu fikih yang mempelajari dan mendalaminya pun dapat dibagi dua pula yakni ilmu fikih ibadah dan ilmu fikih muamalah. Dan sebagai hasil pemikiran manusia, hasil pemahaman tentang syari’ah yang disebut fikih atau hukum fikih itu dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain. Perbedaan tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah (Sunni) maupun di kalangan Syi’ah (M.D. Ali, 1996: 30-34)
Dengan melihat uraian mengenai pengertian Syari’ah dan Fiqh di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Syari’ah adalah lebih luas/umum dari pada Fiqh dan Fiqh hanyalah bagian dari Syari’ah. Antara syari’ah dan fiqh mempunyai hubungan yang erat, karena syari’ah adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syari’at. Perkataan syari’ah dan fikih kedua-duanya terdapat di dalam al-Qur’an, syari’ah dalam surat al-Jatsiah (45): 18, dan fikih dalam surat at-Taubah (9): 122 (M.D. Ali, 1996: 45).
Perbedaan pokok antara syari’ah dan fikih adalah sebagai berikut:
1. Syari’at terdapat di dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis, sedangkan Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih.
2. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena di dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak; sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi; sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
4. Syari’at hanya satu; sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau madzhab-madzhab.
5. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya (Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M. Rasjidi, 1958: 403, Ahmad Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid Masud, 1977: 22, S.H. Nasr, 1981: 60, Masjfuk Zuhdi, 1987: 1 sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali, 1996: 45-46).

B. Nilai Hukum di Dalam Fiqh
Menurut ajaran Islam semua tindakan manusia baik yang berupa perkataan maupun perbuatan mempunyai ketentuan hukum. Ketentuan hukum inilah yang disebut dengan nilai hukum di dalam Fiqh/Hukum Islam.
Di dalam Fiqh dikenal lima macam nilai hukum yang disebut Al-Ahkamal-Khamsah, yaitu:
1. Wajib/Fardh (perintah mutlak)
2. Sunnah/Mandub (perintah tak mutlak)
3. Haram (larangan mutlak)
4. Makruh (larangan tak mutlak)
5. Mubah/Jaiz

B.1. Wajib/Fardh
Yang dimaksud wajib/fardh ialah suatu perintah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Islam. Perbuatan ini apabila dilakukan diberi pahala dan apabila ditinggalkan berdosa dan akan mendapat siksa. Wajib ini ada bermacam-macam, yaitu:
a. Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya, wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib yang Mutlak , yaitu perintah yang tidak ditentukan waktu tertentu untuk melaksanakannya. Oleh karena itu untuk melaksanakannya dapat dilakukan kapan saja. Misalnya ibadah haji, adalah diwajibkan atas orang Islam yang telah dewasa dan mampu sekali seumur hidup untuk melaksanakannya tidak ditentukan waktunya/tahunnya.
- Wajib yang Muaqqat, yaitu yang ditentukan waktu untuk melaksanakannya. Oleh karena itu orang tidak bebas melaksanakannya di luar waktu yang telah ditentukan. Misalnya Puasa Ramadhan yang wajib dilaksanakan dalam bulan Ramadhan dan shalat lima waktu yang wajib dilaksanakan pada waktu-waktunya yang telah ditentukan.
b. Ditinjau dari segi siapa yang wajib melaksanakan, wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib ‘aini, ialah perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa, misalnya: Puasa Ramadhan, Shalat lima waktu.
- Wajib Kifayah, ialah perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif, apabila sebagian dari mereka telah melaksanakan maka gugurlah tuntutan terhadap yang lainnya. Apabila semua melakukannya maka masing-masing akan mendapat pahala, akan tetapi apabila tidak seorang pun yang melaksanakannya maka mereka itu masing-masing berdosa sebagai orang yang mengabaikan kewajiban. Misalnya: Shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, rumah sekolah, mendirikan tempat peribadatan.
c. Ditinjau dari segi qadarnya (kuantitas), wajib dibagi dua, yaitu:
- Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan batas kadarnya (jumlahnya) misalnya: shalat lima waktu, zakat harta, kifarat, Puasa Ramadhan. Kewajiban ini kalau tidak dilaksanakan pada waktunya, tetap menjadi tanggungan selamanya, sampai kewajiban ditunaikan semuanya.
- Wajib ghairu Muhaddad , yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas kadarnya. Misalnya: membelanjakan harta di jalan Tuhan, memberikan makan orang yang sedang kelaparan, dan sebagainya. Adanya kewajiban-kewajiban tersebut adalah karena perintah syara’ tetapi tentang berapa jumlahnya tergantung kepada keadaan. Kewajiban ini kalau ditunaikan secukupnya pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang yang wajib dibayar kekurangannya (A. Hanafi M.A. : 22).

B.2. Sunnah/Mandub
Yang dimaksud sunnah/mandub adalah perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, namun perintah ini tidak mutlak, sebab perbuatan ini kalau dilakukan mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa sehingga tidak dikenakan siksa. Sunnah dapat juga diartikan sebagai suatu anjuran untuk melakukan suatu perbuatan. Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Sunnah ‘amiyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap orang Islam. Misalnya: shalat sunat Ratibah/shalat sunat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat lima waktu.
b. Sunnah Kifayat, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukup seorang saja dari sejumlah orang. Misalnya: memberi salam, mendoakan orang bersin.
c. Sunnah Mu’akhadah, yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul, hanya kadang-kadang saja ditinggalkannya. Misalnya: Shalat Witir, Shalat hari raya.
d. Sunnat Ghairu Mu’akhadah, yaitu segala perbuatan tidak wajib yang kadang-kadang dikerjakan oleh Rasul, misalnya: Salat sunnat sebelum shalat Maghrib.

B.3. Haram
Yang dimaksud haram adalah suatu perbuatan yang dilarang, apabila ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila dilakukan akan mendapat siksa. Haram dibagi menjadi dua yaitu:
a. Haram Lidzatihi, ialah perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain hukumnya haram. Misalnya: berzina, mencuri, merampok, menipu.
b. Haram Li’aridi, ialah perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan dengan perbuatan lain. Misalnya: jual beli pada saat adzan Jum’at telah diserukan. Dalam Al-Qur’an Surat Jum’ah ayat 9 terdapat perintah meninggalkan jual beli apabila adzan Jum’at telah diserukan. Ayat tersebut memberikan ketentuan hukum bahwa jual beli dilarang oleh karena adanya seruan adzan Jum’at. Berjual beli itu sendiri adalah hal yang dibenarkan Islam, tetapi bila diadakan pada waktu telah terdengar seruan adzan Jum’at itu menjadi haram hukumnya. Hal-hal yang haram karena berbarengan dengan hal-hal yang diharamkan tidak berakibat tidak sahnya perbuatan itu sendiri. Jadi jual beli tetap dipandang sah, tetapi orangnya berdosa karena melanggar larangan/tidak taat perintah Al-Qur’an (Ahmad Azhar : 25).
Berbeda halnya dengan perbuatan yang haram lidzatihi yang apabila dilanggar mengakibatkan hal-hal yang merupakan hasil dari perbuatan itu sendiri tidak sah. Misalnya: zina adalah haram lidzatihi, maka anak yang lahir karena perbuatan zina dipandang sebagai anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya.

B.4. Makruh
Yang dimaksud makruh adalah perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Makruh dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Makruh tanzih, ialah perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. Bila ditinggalkan berpahala dan bila dilaksanakan tidak berdosa meskipun tercela. Makruh tanzih ini adalah kebalikan sunnah. Misalnya: makan minum dengan menggunakan tangan kiri.
b. Makruh tahrim, ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya tidak pasti. Misalnya: memakai cincin emas adalah dilarang menurut ulama madzab Hanafi.
c. Tarkul-aula, ialah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang amat dianjurkan. Misalnya: meninggalkan Shalat Witir.

B.5. Mubah/Jaiz
Yang dimaksud mubah/jaiz ialah perbuatan yang bila dilaksanakan tidak berpahala dan bila ditinggalkan juga tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Mubah dapat dibagi menjadi tiga macam:
a. Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya.
b. Tidak ada dalil yang mengharamkan.
c. Yang dinyatakan dalam syara’ boleh memilih, kalau suka boleh dilakukan dan kalau tidak suka boleh meninggalkan.

C. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum
Ada beberapa perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum, yaitu:
1. Ditinjau dari segi sumbernya/dasar hukumnya
Hukum Islam bersumber pada dua hal, yaitu: pertama, Wahyu/Firman Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan dalam Sunnah Nabi sebagi penjelasannya. Kedua, Ratio/akal manusia yaitu hasil ijtihad atau ra’yu. Sedangkan Hukum Umum bersumber pada akal manusia saja.
2. Ditinjau dari segi obyek yang diaturnya
Hukum Islam mempunyai dua obyek hukum, yaitu: pertama, peraturan-peraturan/hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, yang disebut hukum Ibadah. Kedua, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup bermasyarakat atau antara manusia dengan benda-benda di sekelilingnya, yang disebut hukum Muammalah. Sedangkan Hukum Umum obyeknya hanyalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup bermayarakat baik dalam lingkungan yang sempit ataupun dalam lingkungan yang luas.

D. Ushul al Fiqh
Pengertian Ushul al Fiqh ialah
Ushul adalah sumber atau dalil
Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ tentang amalan dan perbuatan, seperti hukum wajib, haram, mubah, makruh dan lain-lain. Hukum-hukum itu ada sumbernya atau dalilnya yaitu: Qur’an, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan Ushul al Fiqh adalah ilmu yang membicarakan sumber-sumber hukum tersebut di atas dan bagaimana cara menunjukkan kepada suatu hukum dengan secara ijmal (garis besar) (A. Hanafi : 12). Oleh karena itu Ushul al Fiqh tidak membicarakan dalil hukum tiap persoalan satu per satu, tetapi hanya membicarakan dalil-dalil hukum secara garis besar. Misalnya, di dalam Al-Qur’an terdapat perintah menunaikan zakat, perintah berbuat baik kepada orang lain, perintah menyampaikan amanat dan perintah-perintah lainnya.
Ilmu Ushul Fiqh tidak mengatakan bahwa zakat itu hukumnya wajib. Yang menjadi perhatian Ilmu Ushul Fiqh adalah apabila kita menjumpai bentuk perintah dalam Al-Qur’an yang merupakan sumber utama dan pertama hukum syara’ itu harus kita artikan bagaimana. Para ulama setelah membahas perintah-perintah Al-Qur’an mengambil kesimpulan bahwa perintah-perintah itu pada umumnya menunjukkan hukum wajib. Akhirnya dibuat suatu kaidah ushul fiqh yang mengatakan “pada dasarnya tiap-tiap perintah menunjukkan hukum wajib”.
Contoh lain misalnya Al-Qur’an melarang berjudi, melarang berbuat zina, melarang berbuat aniaya, dan lain-lain. Ilmu Ushul Fiqh membicarakan dan membahas bagaimana mengartikan larangan-larangan itu. Setelah diselidiki secara mendalam diperoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya larangan-larangan itu menunjukkan hukum haram. Akhirnya dibuat suatu kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan “pada dasarnya tiap-tiap larangan menunjukkan hukum haram” (A. Azhar Basyir, 1972 : 6).
Mempelajari Ushul Fiqh mempunyai beberapa faedah yaitu:
1. Dengan mempelajari Ushul Fiqh kita akan mengetahui dalil-dalil hukum syara’ dan cara mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari padanya. Dengan demikian kita akan mampu melakukan sendiri mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syara’ dari sumber-sumber asli, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2. Dengan mempelajari ushul fiqh kita dapat mengembalikan kesimpulan-kesimpulan hukum syara’ yang kita jumpai kepada sumber-sumber pengambilannya. Dengan demikian kita akan dapat mengamalkan hukum syara tidak hanya sebagai orang yang bertaqlid kepada orang lain tanpa mengetahui sumber pengambilannya.




BAB III
LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM ISLAM

A. Pembagian Lapangan Hukum Islam
Fiqh Islam atau Hukum Islam merupakan kumpulan tata aturan yang mencakup semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai Khaliqnya, maupun yang menyangkut hubungan antar manusia di dalam lingkungan yang terbatas maupun dengan manusia di luar lingkungannya.
Secara garis besar para fuqaha membagi lapangan hukum Islam menjadi dua, yaitu Ibadat dan Mu’amalat. Lapangan Ibadat adalah lapangan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendaptkan pahala di akherat. Lapangan Mu’amalat adalah lapangan yang mengatur hubungan antara manusia baik dalam golongannya maupun di luar golongannya, atau dengan kata lain Mu’amalat adalah bidang yang mengatur kepentingan-kepentingan duniawi.
Dari dua bidang ini para fuqaha masih membagi-bagi lagi menjadi beberapa lapangan, dimana masing-masing tidak sama banyak dalam membaginya. Di bawah ini akan dikemukakan pembagian lapangan Hukum Islam oleh beberapa fuqaha.
1. Ulama-ulama Syafi’iyah membagi lapangan Hukum Islam menjadi empat bagian, yaitu: Ibadat, Mu’amalat, Munakahat dan Uqubat yaitu hal-hal yang berhubungan dengan pidana.
2. Prof. M. Hasby Ash-Shiddieqy membagi lapangan Hukum Islam menjadi delapan bidang, yaitu:
a. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang ibadat. Misalnya: shalat, puasa, zakat, haji, jihad, dan nazar.
b. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan kekeluargaan, misalnya: perkawinan, wasiat, dan waris.
c. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan mu’amalat madaniyah, misalnya: jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, gadai, dan lain sebagainya.
d. Sekumpulan hukum yang mengenai harta peninggalan yaitu soal-soal yang menjadi urusan baitulmal, penghasilannya, macam-macam harta yang ditempatkan dalam baitulmal dan tempat-tempat pembelanjaannya.
e. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang uqubat, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan usaha memelihara keselamatan jiwa, kehormatan dan akal manusia. Dengan kata lain hukum-hukum yang berhubungan dengan pidana dan perbuatan pidana.
f. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan hukum acara, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan proses berperkara di Pengadilan.
g. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum tata negara, misalnya: soal kepaala negara, hak-hak penguasa dan rakyat, badan permusyawaratan dan lain-lainnya.
h. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum internasional, misalnya: hukum perang, perdamaian antar negara, perjanjian antar negara dan lain-lainnya.
3. Para fuqaha masa kini membagi lapangan Hukum Islam selain bidang Ibadah menurut sistem pembagian hukum Barat. Dalam hal ini lapangan Hukum Islam dibagi dua bagian, yaitu:
a. Hukum Privat (al Qanunul Khas), bidang ini meliputi:
- Hukum Perdata (Muamalat)
- Hukum Dagang (At Tijarah)
- Hukum Acara (Al Murafaat)
- Hukum Privat Internasional (Ad-Dauliyul Khas)
b. Hukum Umum (Al Qanunul Aam) ini meliputi:
- Hukum Pidana (Jinayat)
- Hukum Ketatanegaraan, Administrasi dan Keuangan
- Hukum Pidana Internasional
Dengan melihat pembagian lapangan Hukum Islam menurut para fuqaha masa kini, maka sesuai dengan kepribadian Hukum Islam dan dapat mencakup seluruh bidang Hukum Islam, maka pembagian lapangan Hukum Islam penulis susun secara berturut-turut sebagai berikut:
1. Ibadah
2. Hukum Keluarga, meliputi:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
3. Mu’amalat, meliputi
a. Hukum Perdata
b. Hukum Dagang
c. Hukum Acara
4. Hukum Pidana (Jinayat)
5. Siyasah Syari’iyah, meliputi:
a. Hukum Tata Negara
b. Administrasi dan Keuangan
6. Hukum Internasional, meliputi:
a. Hukum Perdata Internasional
b. Hukum Pidana Internasional

B. Lapangan Ibadah
Bidang Ibadah adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan. Hukum-hukum Ibadah bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yang pada dasarnya hukum-hukum ini mempunyai sifat yang kekal (qot’i), tidak berubah-ubah sepanjang masa dan tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman dan masyarakat dan tempat dimana hukum ini berlaku. Oleh karena itu pada umumnya hukum-hukum ibadah ini sudah diterangkan secara jelas dan terperinci.
Karena sifatnya qot’i maka mengubah dan menambah hukum-hukum Ibadah tidak dibolehkan. Mengubah atau menambah aturan-aturan ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan yang sudah diatur dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul disebut bid’ah.
Hal-hal yang dibicarakan dalam bidang Ibadah ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Haji, Jihad, Sumpah, Aqiqah, Makanan dan Minuman.

C. Lapangan Mu’amalah
Lapangan/bidang Mu’amalah adalah bidang yang terdiri atas kumpulan aturan yang mengatur hubungan manusia dan manusia dalam hidup bermasyarakat baik dalam lingkungan yang terbatas maupun lingkungan yang lebih luas. Dapat juga dikatakan bahwa bidang Mu’amalah adalah bidang hukum yang mengatur hubungan hubungan dan kepentingan manusia dalam hidup di dunia.
Hukum-hukum Mu’amalah bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Sifat Hukum Mu’amalah pada dasrnya sesuai dengan obyek yang diaturnya yaitu manusia dalam hidup bermasyarakat, maka hukum ini mempunyai sifat yang memungkinkan untuk berkembang ataupun berubah (dhanni), seperti halnya masyarakat itu sendiri yang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.
Bidang Mu’amalah ini terbagi atas beberapa bidang hukum, yaitu:
1. Hukum Keluarga
2. Hukum Privat (Mu’amalah)
3. Hukum Pidana (Jinayat)
4. Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)
5. Hukum Internasional.

1. Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah kumpulan aturan-aturan yang mengatur hubungan hukum antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai isteri dan keluarganya. Hukum Keluarga ini terdiri atas beberapa bidang hukum, yaitu:
a. Hukum Perkawinan (Munakahat)
b. Hukum Waris (Faraid)
c. Hukum Wasiat
d. Hukum Wakaf
Hukum waris erat kaitannya dengan hukum keluarga sebab pembagian warisan dalam Hukum Islam itu yang utama adalah berdasarkan pertalian keluarga baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan. Demikian juga mengenai hubungan wasiat dengan hukum keluarga juga sangat erat terutama hubungannya dengan hukum waris, sebab harta yang diwasiatkan untuk orang lain atau untuk keluarga diambilkan dari harta peninggalan pewaris.
Mengenai hukum wakaf yang erat hubungannya dengan hukum keluarga adalah wakaf untuk keluarga/keturunan, sedangkan wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum masuk di dalam bidang ibadah.
a. Hukum Perkawinan (Munakahat)
Hal-hal yang diatur di dalam hukum perkawinan antara lain adalah mengenai:
(1). Kedudukan hukum perkawinan di dalam agama Islam
(2). Prinsip-prinsip perkawinan
(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan
(4). Rukun dan syarat-syarat perkawinan
(5). Larangan-larangan perkawinan
(6). Hak-hak dan kewajiban suami isteri di dalam perkawinan
(7). Putusnya perkawinan

(1). Kedudukan Hukum Perkawinan di dalam Agama Islam
Hukum perkawinan di dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab perkawinan itu mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci.
Hukum perkawinan pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja melainkan mengatur juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak dan kewajiban suami isteri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain.
Adapun arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia pada umumnya dan khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
(a). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
(b). Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami isteri.
(c). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.
(d). Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti dari hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya satu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
(e). Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam (Sumiyati, 1982 : 4).

(2). Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam
Di dalam Hukum Islam perkawinan mempunyai beberaapa asas dan prinsip, yaitu:
(a). Pada dasarnya setiap perkawinan harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Caranya ialah dengan diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak sudah setuju untuk melaksanakan perkawinan atau belum.
(b). Pada dasrnya seorang pria tidak dapat mengawini setiap wanita, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
(c). Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
(d). Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
(e). Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah Agama Islam disebut Nikah, pengertiannya adalah “melaksanakan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah (Ahmad Azhar Basyir, 1977: 10).
Melihat rumusan perkawinan seperti tersebut di atas maka pada dasarnya nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan seorang wanita. Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan perjanjian-perjanjian perdata yang lainnya, misalnya: jual beli, sewa menyewa, dan lain-lainnya.
Beberapa hal yang merupakan ciri khusus dalam perjanjian perkawinan yang membedakan dengan perjanjian yang lainnya antara lain ialah:
(a). Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.
(b). Isi dari perjanjian perkawinan itu sudah ditentukan terlebih dahulu di dalam agama Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian itu tidak dapat dengan bebas menentukan sendiri sesuai kehendaknya masing-masing.
(c). Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah ditentukan terlebih dahulu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan sendiri secara bebas.
Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat diperinci sebagai berikut:
(a). Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
(b). Membentuk/mewujudkan satu keluarga yang damai, tenteram dan kekal dengan dasar cinta dan kasih sayang.
(c). Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

(4). Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan
Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak melaksanakan perkawinan maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
Adapun persyaratan ini terdiri atas rukun dan syarat-syarat perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan.
Yang termasuk rukun perkawinan ialah:
(a). Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan atau aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
(b). Wali
(c). Saksi
(d). Akad nikah
Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan. Kalau salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Misalnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun perkawinan. Jadi supaya perkawinan itu dapat dilaksanakan dan sah hukumnya maka rukun perkawinan itu harus ada dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh mengenai syarat-syarat perkawinan, misalnya:
(a). Adanya unsur kesukarelaan dari pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan.
(b). Untuk dapat menjadi wali syaratnya adalah muslim laki-laki, berakal sehat dan lain-lainnya.
(c). Jumlah saksi dalam perkawinan paling sedikit dua orang laki-laki.
(d). Adanya mahar dalam perkawinan.
(e). Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis, tidak boleh dibatasi waktunya dan lain-lainnya.

(5). Larangan-larangan Perkawinan
Di dalam agama Islam ada ketentuan-ketentuan tentang larangan perkawinan bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan ini ada yang sifatnya sementara dan ada yang sifatnya tetap.
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya tetap ialah bahwa seorang pria dilarang mengawini seorang wanita untuk selama-lamanya. Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita untuk selama-lamanya ialah:
(a). Karena adanya hubungan darah, yaitu: ibu, nenek, saudara kandung, kemenakan dan bibi.
(b). Karena hubungan susuan, yaitu: ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, dan kemenakan susuan.
(c). Karena hubungan semenda, yaitu: mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.
(d). Karena sumpah li’an, yaitu suami isteri yang putus perkawinannya karena sumpah li’an, kedua belah pihak dilarang menjadi suami isteri kembali untuk selama-lamanya.
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya sementara ialah bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita pada saat ada halangan-halangan tertentu yang menyebabkan keduanya dilarang untuk menikah, tetapi apabila halangan-halangan ini hilang, maka keduanya dimungkinkan untuk menikah/boleh menikah.
Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita yang sifatnya sementara antara lain ialah:
(a). Mengumpulkan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu maupun saudara sesusuan, kecuali secara bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian dicerai/meninggal kemudian ganti mengawini adiknya.
(b). Mengawini lebih dari empat orang wanita, kecuali salah satu dari yang empat itu sudah ditalak/dicerai atau meninggal dunia.
(c). Mengawini wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah baik ‘iddah karena kematian maupun karena talak kecuali masa ‘iddahnya sudah habis (Sumiyati, 1982: 32 - 36).

(6). Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara suami isteri yang sudah barang tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang diperolehnya dari hasil perkawinannya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami isteri untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan itu ada hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan dan ada hak dan kewajiban yang bersifat bukan kebendaan.
Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan antara lain ialah:
(a). Suami wajib memberi mahar kepada isterinya.
(b). Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yaitu segala kebutuhan isteri yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Dan di samping itu suami wajib memberikan biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.
(c). Isteri wajib mengatur dan mengelola rumah tangga dengan baik.
(d). Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.
Hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat bukan kebendaan antara lain ialah:
(a). Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah tangga termasuk saling menjaga rahasia masing-masing.
(b). Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
(c). Suami isteri harus menciptakan pergaulan dalam rumah tangga yang diliputi rasa saling cinta mencintai.
(d). Suami isteri harus saling menciptakan pergaulan yang saling membela dan memerlukan di masa tua (Sumiyati, 1982 : 87 - 92).

(7). Putusnya Perkawinan
Walaupun melakukan perkawinan itu pada dasarnya dengan tujuan untuk selama-lamanya, namun adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, dengan kata lain terjadi perceraian antara suami isteri.
Perceraian dalam istilah Fiqh disebut Talak atau Furqah. Yang dimaksud dengan talak ialah membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah artinya adalah bercerai yaitu lawan kata dari berkumpul.
Kemudian dua kata itu dipakai oleh ahli Fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami isteri. Perkataan talak dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus.
Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.
Talak menurut arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk perceraian antara suami isteri itu ada yang disebabkan karena talak, maka untuk selanjutnya istilah talak di sini dimaksudkan sebagai talak dalam arti yang khusus.
Di atas telah diterangkan bahwa tujuan melaksanakan perkawinan yang diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan untuk selama-lamanya atas dasar saling cinta mencintai antara suami isteri. Akan tetapi dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga suami isteri tentu saja tidak selamanya berada dalam suasana yang damai dan tenteram, adakalanya terjadi salah paham antara suami isteri yang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya salah satu pihak melalaikan kewajiban, tidak percaya mempercayai satu sama lain, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan timbul ketegangan seperti ini kadang-kadang dapat diatasi sehingga antara kedua pihak menjadi baik kembali, tetapi ada kalanya kesalahpahaman ini menjadi berlarut sehingga antara suami isteri terus menerus terjadi pertengkaran. Apabila perkawinan yang demikian itu dilanjutkan maka tujuan utama dari perkawinan tidak akan tercapai.
Keadaan seperti ini dapat juga menyebabkan keretakan antara keluarga kedua belah pihak. Maka dari itu untuk menghindari hal-hal yang demikian tadi, maka agama Islam memberi jalan keluar yang terakhir bagi suami isteri yang telah gagal dalam membina rumah tangganya yaitu dengan perceraian.
Meskipun agama Islam membolehkan perceraian tetapi bukan berarti bahwa agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Perceraian walaupun dibolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian itu bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:
“Yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak/perceraian”
(H.R. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim).
Demikian juga bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasulullah SAW bersabda:
“Apakah yang menyebabkan salah seorang dari kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan ‘aku sesungguhnya telah mentalak isteriku dan aku sungguh telah merujuknya” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Huban).
Dengan melihat isi kedua hadis Nabi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa talak itu walaupun dibolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan alasan yang kuat dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh oleh suami isteri, apabila cara-cara yang lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.
Perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu antara lain ialah:
(a). Talak, ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
(b). Khuluk, ialah perceraian atas persetujuan suami isteri. Caranya yaitu suami menjatuhkan talak satu kepada isterinya namun dengan syarat isteri harus memberi tebusan harta atau uang kepada suaminya. Tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya disebut ‘iwald.
(c). Syiqaq, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh hakam dari kedua belah pihak suami dan isteri karena antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran yang harus diselesaikan supaya tidak berlarut-larut dan menambah penderitaan kedua belah pihak suami isteri tersebut.
(d). Fasakh, ialah perkawinan yang diputuskan oleh Pengadilan Agama atas permintaan salah satu pihak. Biasanya yang menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri, sebab kalau suami yang menginginkan perkawinannya putus, ia dapat langsung mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk menjatuhkan talaknya pada isterinya (Sumiyati, 1982: 103 - 113).

b. Hukum Waris
Di samping Hukum Perkawinan maka Hukum Waris merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu (Hazairin, 1964: 9).
Hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Dengan demikian Hukum Waris dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya (M. Idris Romulyo, 1984: 1).
Beberapa hal yang diatur dalam Hukum Waris antara lain ialah:
(1). Kedudukan Hukum Waris di dalam Hukum Islam
(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam
(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
(4). Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan
(5). Syarat-syarat dan rukun kewarisan
(6). Penghalang-penghalang warisan
(7). Golongan-golongan ahli waris

(1). Kedudukan Hukum Waris Dalam Hukum Islam
Hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam Hukum Islam sehingga ayat-ayat Al-Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang, di samping itu hukum waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan pasti amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Beberapa hadis nabi di bawah ini mengajarkan bahwa hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Islam.
(a). Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majjah dan Addaraquthni mengajarkan:
“Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separuh ilmu yang mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku”.
(b). Hadis Nabi Riwayat Ahmad bin Hambal, memerintahkan:
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang; hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraidl dan masalahnya, maka mereka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaimana penyelesaiannya”.
Karena ada perintah khusus untuk mempelajari dan mengajarkan faraidl maka para ulama menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang disebut Ilmu Faraidl, ilmu tentang pembagian harta warisan (Ahmad Azhar Basyir, 1980: 7).

(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam
Hukum Waris Islam bersumber kepada tiga sumber hukum, yaitu:
(a). Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian harta warisan terdapat dalam beberapa ayat di dalam Surat An Nisa, yaitu ayat 1, ayat 7 sampai dengan 13, ayat 176 dan Surat Al Anfal ayat 75.
Ayat-ayat tersebut di atas mengatur antara lain:
- Kuatnya hubungan kerabat karena pertalian darah.
- Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas harta warisan orang tuanya.
- Agar orang berhati-hati dalam memelihara harta warisan anak yatim.
- Bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.
- Menentukan tentang bagian-bagian tertentu kepada golongan ahli waris tertentu.
(b). Hadis Nabi
Meskipun Al-Qur’an mengatur secara terinci ketentuan-ketentuan tentang bagian ahli waris namun ada hal-hal yang belum diatur di dalam Al-Qur’an yang kemudian ketentuannya diatur di dalam Sunnah Nabi. Hal-hal yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an antara lain, yaitu:
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris, lebih berhak atas sisa harta warisan setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
- Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik Baitulmal.
- Hadis riwayat Malik dan Ibnu Majjah mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak waris atas harta orang yang dibunuhnya.
- Hadis riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.
(c). Ijtihad
Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberikan ketentuan terinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam hal-hal yang tidak ada aturannya dalam kedua sumber hukum di atas perlu ditentukan aturannya dengan jalan ijtihad. Misalnya mengenai hal-hal sebagai berikut:
- Aturan mengenai bagian warisan orang banci.
- Aturan mengenai harta warisan yang tidak habis terbagi, kepada siapa sisanya harus dibagikan.
- Aturan mengenai bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau isteri.

(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki seperti yang berlaku pada sistem keapitalisme, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan.
(b). Warisan adalah ketetapan hukum, sehingga yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu membuat pernyataan menerima secara suka rela atau atas keputusan hakim. Tetapi tidak berarti bahwa dengan demikian ahli waris dibebani melunasi hutang-hutang si pewaris.
(c). Warisan terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan si pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh.
(d). Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris. Misalnya: ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan.
(e). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan orang tuanya baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil, laki-laki ataupun wanita bahkan yang masih dalam kandungan berhak atas harta warisan orang tuanya. Tetapi perbedaan besar kecil bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga.
(f). Hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhan dalam hidup sehari-hari, dan di samping itu juga ditentukan berdasarkan jauh dekatnya hubungan ahli waris dengan pewaris. Bagian tertentu dari harta warisan itu adalah: 2/3; 1/2; 1/3; 1/4; 1/6; dan 1/8. Ketentuan tersebut termasuk hal yang sifatnya ta’abbudi yang wajib dilaksanakan oleh karena telah telah menjadi ketentuan Al-Qur’an (lihat S. An Nisa ayat 13). Adanya ketentuan-ketentuan ahli waris yang bersifat ta’abbudi itu merupakan salah satu ciri hukum waris Islam (A. Azhar Basyir, 1980: 11).

(4). Hak-hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan
Sebelum harta peninggalan menjadi hak para ahli waris, lebih dahulu harus diperhatikan hak-hak yang menyangkut harta peninggalan itu yang harus dibayarkan terlebih dahulu.
Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
(a). Hak-hak yang menyangkut kepentingan dari si pewaris sendiri, yaitu penyelenggaraan jenazahnya sejak dimandikan sampai dimakamkan.
(b). Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur, yaitu pelunasan hutang-hutang dari si pewaris.
(c). Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang-orang yang menerima wasiat.
(d). Hak-hak ahli waris.

(5). Syarat-syarat dan Rukun Kewarisan
Masalah kewarisan baru ada apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun kewarisan sebagai berikut:
(a). Harus ada Muwarits (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian dan ini dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain:
1. Mati Haqiqi (mati sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang dibuktikan oleh panca indera atau pembuktian menurut ilmu kedokteran.
2. Mati Hukmy (mati yang dinyatakan menurut keputusan hakim). Pada hakekatnya orang itu masih hidup, atau dua kemungkinan antara hidup dan mati tetapi menurut hukum telah dianggap mati.
(b). Harus ada Mauruts (Budel) atau Tirkah. Tirkah/budel ialah apa yang ditinggalkan oleh muwarits baik hak-hak kebendaan berwujud maupun tak berwujud, bernilai atau tak bernilai, misal:
1. Benda-benda yang berwujud dan bernilai, benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang.
2. Hak-hak kebendaan, misalnya hak monopoli untuk mendaya- gunakan, menarik hasil dari sumber irigasi, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalnya: hak syuf’ah atau hak optie yaitu hak membeli kembali terhadap suatu benda.
4. Hak-hak yang bersangkutan dengan orang lain di luar kategori tersebut di atas, misalnya: maskawin yang belum dibayar.
(c). Harus ada Warits (ahli waris).
Ahli waris adalah orang yang berhak dan akan menerima harta benda peninggalan dari si pewaris. Ahli waris dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Ahli waris karena adanya hubungan perkawinan, yaitu suami atau isteri.
2. Ahli waris Nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan kerabat (darah), baik bertalian lurus ke atas dan ke bawah maupun pertalian ke cabang, misalnya: paman, bibi dan lain-lainnya.
3. Ahli waris karena hubungan Wala’ (karena pembebasan budak), yaitu seseorang yang telah membebaskan budak berhak terhadap peninggalan budak itu, dan sebaliknya orang yang membebaskan budak apabila tidak ada ahli waris yang lain (M. Idris Romulyo, 1984: 38 - 40).

(6). Penghalang-penghalang Warisan
Ada beberapa macam penghalang seseorang menerima warisan, antara lain ialah:
(a). Karena pembunuhan. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi yang mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak mewaris atas harta peninggalan orang yang dibunuhnya. Yang dimaksud dengan pembunuhan ialah pembunuhan dengan sengaja yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya. Demikian juga percobaan pembunuhan belum dipandang sebagai penghalang warisan.
(b). Karena berlainan agama antara si pewaris dan ahli waris. Adapun alasan penghalang ini adalah Hadis Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas orang kafir dan sebaliknya orang kafir tidak berhak waris atas harta orang muslim. Misalnya: antara suami yang beragama Islam dan isteri beragama Keristen, apabila suami menghendaki isterinya dapat menikmati harta peninggalannya dapat dilakukan dengan jalan wasiat.

(7). Golongan Ahli Waris
Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan bila ditinjau dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan.
Dari segi jenis kelaminnya ahli waris dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Dari segi haknya atas harta warisan ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
(a). Ahli waris Dzawil-furudl, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Bagian-bagian tertentu itu ialah: 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.
Bagian 2/3 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak dua orang saudara perempuan kandung atau seayah dan dua anak perempuan.
Bagian 1/2 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan kandung atau seayah dan suami bila pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak waris.
Bagian 1/3 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak ibu apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau lebih dari seorang saudara dan saudara-saudara seibu jika lebih dari seorang.
Bagian 1/4 disebut dalam Al-Qur’an menjadi hak suami jika pewaris meninggalkan anak yang berhak waris dan isteri apabila pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak waris.
Bagian 1/6 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak ayah dan ibu jika pewaris meninggalkan anak yang berhak waris, juga ibu bila pewaris meninggalkan saudara lebih dari seorang dan seorang saudara ibu. Hadis Nabi menyebutkan juga bahwa bagian 1/6 menjadi hak cucu perempuan (dari anak laki-laki) bersama-sama dengan seorang anak perempuan , saudara perempuan seayah bersama-sama dengan seorang saudara perempuan kandung dan kakek apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.
Bagian 1/8 disebutkan dalam Al-Qur’an menjadi hak isteri apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.
Ahli waris Dzawil furudl itu ada 12 orang, yaitu: suami, isteri, ayah, ibu, anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, kakek dan nenek.
(b). Ahli waris Ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl, berhak atas sisanya jika bersisa dan apabila tidak ada sisa sama sekali maka mereka tidak akan mendapat bagian apapun.
Ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu:
1. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah dengan sendirinya, tidak karena ditarik oleh waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama dengan waris lain, disebut ashabah binnafsi. Misalnya: anak laki-laki, cucu laki-laki (dari anak laki-laki), saudara laki-laki kandung atau seayah dan lain sebagainya.
2. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena ditarik oleh waris ashabah lain, ini disebut ashabah bil ghairi. Misalnya: anak perempuan ditarik menjadi ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dan lain sebagainya.
3. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena bersama-sama dengan waris lain, ini disebut ashabah ma’al ghairi. Misalnya: saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan.
(c). Ahli waris Dzawil-arham, ialah ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil-furudl atau ashabah. Misalnya: cucu laki-laki dari anak perempuan, kemenakan laki-laki atau perempuan dari saudara perempuan, bibi, dan lain-lainnya (A. Azhar Basyir, 1981 : 24 - 27).

c. Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah yang berarti pesan atau weling (jawa). Menurut istilah Fiqh Islam ada bermacam-macam pengertian yang diberikan. Di antara sekian banyak pengertian tentang wasiat maka yang amat sederhana dan tepat ialah yang dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Wasiat Mesir no. 71/1946, sebagai berikut:
“Wasiat adalah tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggal”.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka dapat mencakup segala macam bentuk wasiat. Untuk memberi gambaran yang jelas mengenai bentuk-bentuk wasiat di bawah ini diberikan beberapa contoh, yaitu:
(a). Wasiat yang memberikan sebagian harta peninggalan kepada orang tertentu, misalnya: seseorang berwasiat bila ia meninggal nanti sepeda miliknya harap diberikan kepada temannya yang bernama Ali.
(b). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti sebagian dari harta peninggalannya supaya dibelikan tanah dan membangun sebuah gedung untuk balai pertemuan kampungnya. Wasiat seperti ini berbentuk memberikan sebagian harta peninggalannya bukan kepada seseorang tertentu, tetapi untuk kepentingan umum. Wasiat seperti ini dapat berkedudukan sebagai harta wakaf.
(c). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti piutangnya pada seseorang tertentu supaya dibebaskan saja. Wasiat semacam ini berbentuk melepaskan hak untuk orang lain.
(d). Seseorang berwasiat menunjuk seseorang yang dipercaya bertindak sebagai wali atas anak-anaknya dan harta warisan yang jatuh pada mereka sesudah ia meninggal nanti. Wasiat semacam ini berbentuk minta kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.

2. Dasar-dasar Hukum Wasiat
Hukum wasiat berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad.
(a). Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi ketentuan wasiat antara lain:
(1). S. Al-Baqarah 180, yang mengajarkan bila seseorang mendekati ajalnya padahal ia memiliki harta banyak hendaklah ia berwasiat untuk ibu, bapak, dan kerabat-kerabatnya secara adil dan baik.
(2). S. An Nisa 12, memberikan ketentuan bahwa bagian ahli waris dari harta warisan adalah setelah diambil untuk membayar hutang pewaris dan melaksanakan wasiatnya.
(b). Sunnah Rasul
Dari beberapa Sunnah Rasul dapat diperoleh beberapa ajaran tentang wasiat antara lain:
(1). Hadis Nabi SAW riwayat Ad Daraquthni dari Mu’adz bin Jabal mengajarkan bahwa wasiat amat penting artinya bagi orang yang berwasiat karena akan menjadi tambahan amal kebajikannya di akhirat kelak.
(2). Hadis Nabi riwayat Al Jama’ah dari Sa’ad ibn Abi Waqqash, yang mengajarkan bahwa berwasiat itu dibenarkan dan juga memberi ketentuan bahwa memberi wasiat yang menyangkut harta jangan melebihi sepertiga dari harta peninggalan. Atau dengan kata lain berwasiat itu maksimum sampai dengan sepertiga dari seluruh harta peninggalan.

3. Hukum Wasiat
Wasiat dapat dihukumkan: wajib, haram, makruh, dan mubah.
(a). Wasiat wajib hukumnya dalam hal-hal yang menyangkut hak Allah seperti Zakat, Kifarat, Fidyah puasa dan lain-lainnya yang merupakan hutang yang wajib ditunaikan bagi Allah. Di samping itu juga dapat berupa hak-hak sesama manusia yang tidak mungkin diketahui adanya bila tidak diwasiatkan seperti titipan barang, hutang-hutang, dan sebagainya. Bila seseorang tidak berwasiat dalam hal-hal tersebut hingga tidak terpenuhi oleh ahli waris dari harta peninggalannya, orang itu berdosa dan bertanggung jawab di hadapan Allah.
(b). Wasiat sunnah hukumnya apabila ditujukan untuk amal kebajikan dan hanya mengharapkan keridlaan Allah semata-mata.
(c). Wasiat haram hukumnya apabila mewasiatkan barang-barang yang dengan jelas diharamkan agama, seperti berwasiat harta benda untuk membangun tempat perjudian atau tempat-tempat maksiat yang lainnya.
(d). Wasiat makruh hukumnya apabila seseorang berwasiat memberikan sebagian hartanya kepada seseorang diluar ahli waris, sedangkan hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak dan dalam keadaan kekurangan.
(e). Wasiat mubah hukumnya apabila tidak terdapat hal-hal tersebut pada empat macam hukum wasiat terdahulu, serta yang diberi wasiat tidak memerlukannya karena sudah berkecukupan. Sehingga wasiat ini dilakukan hanya sebagai tanda persahabatan atau sebagai balas jasa tanpa disertai niat untuk beribadat kepada Allah dengan wasiatnya itu.

4. Unsur-unsur Wasiat dan Persyaratannya
Unsur-unsur yang terdapat dalam wasiat itu ada empat macam:
(a). Orang yang berwasiat (mushi)
(b). Orang yang menerima wasiat (mushalahu)
(c). Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi)
(d). Sighat / ikrar

(a). Syarat-syarat Mushi
Untuk sahnya wasiat mushi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Dewasa / baligh
(2). Berakal sehat
(3). Atas kehendak sendiri secara bebas
Berwasiat adalah tindakan tabarru’ (derma) dari harta bendanya, maka memerlukan pertimbangan akal yang baik, pertimbangan dipandang ada kalau mushi telah dewasa dan berakal sehat. Disamping itu karena berwasiat itu diperlukan adanya pertimbangan akal sehat, maka apabila mushi membuat wasiat di luar kehendaknya karena adanya unsur paksaan maka wasiat itu dianggap tidak sah.
(b). Syarat-syarat Mushalahu
Mushalahu adalah orang yang dituju dalam suatu wasiat, supaya wasiat itu sah maka mushalahu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Harus dapat diketahui dengan jelas
(2). Telah wujud ketika wasiat dinyatakan
(3). Bukan tujuan kemaksiatan
(4). Mushalahu tidak membunuh mushi.
(c). Syarat-syarat Musha-bihi
Supaya wasiat itu sah maka musha-bihi atau sesuatu yang diwasiatkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek perjanjian
(2). Sudah wujud/ada bentuknya waktu wasiat dinyatakan
(3). Milik mushi
(4). Jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalan.
(d). Sighat wasiat
Untuk sahnya wasiat dapat dipakai segala cara yang memberi pengertian adanya wasiat. Jadi wasiat dapat diucapkan dengan lisan, dapat pula berbentuk tulisan dan dapat berbentuk isyarat yang dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Sighat wasiat hanya diperlukan pernyataan dari mushi saja (ijab) dan pada prinsipnya pernyataan menerima dari mushalahu (qabul) tidak diperlukan.
Sighat wasiat dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu asalkan syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan hukum wasiat, tidak merusak kemungkinan menikmati barang wasiat dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama Islam pada umumnya.

5. Batalnya Wasiat
Wasiat dianggap batal apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
(a). Mushi menarik wasiatnya
(b). Mushi kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena gila atau rusak akal
(c). Mushi ketika meninggal mempunyai hutang yang menghabiskan harta peninggalannya
(d). Musha-lahu meninggal sebelum mushi
(e). Musha-lahu membunuh mushi
(f). Musha-lahu menolak wasiat
(g). Musha-bihi binasa
(h). Musha-bihi diputuskan hakim menjadi hak orang lain
(i). Musha-bihi mengalami perubahan bentuk
(j). Habis waktu wasiatnya
(A. Azhar Basyir, 1979: 30 - 45).

d. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut istilah, wakaf berarti “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah SWT”.

2. Dasar-dasar Amalan Wakaf
Amalan wakaf ini dasarnya ada dua macam, yaitu dasar umum dan dasar khusus.
(a). Dasar Umum
Yang menjadi dasar umum dari amalan wakaf ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar orang berbuat kebaikan sebab amalan wakaf adalah termasuk salah satu macam berbuat kebaikan. Di antara ayat-ayat yang memerintahkan berbuat kebaikan itu antara lain:
(1). Al-Qur’an S. Al Hajj 77 memerintahkan “Berbuatlah kebaikan agar kamu bahagia”.
(2). Al-Qur’an S. Al-Baqarah 267 memerintahkan “Belanjakanlah sebagian harta yang kamu peroleh dengan baik-baik”.
(3). Al-Qur’an S. Ali Imran 92 mengajarkan “Sekali-kali kamu tidak akan memperoleh kebaikan hingga kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi”.
(b). Dasar Khusus
Dasar khusus amalan wakaf ialah Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar datang menghadap Nabi untuk minta nasehat tentang penggunaan tanah yang diperolehnya di Khaibar. Kemudian Nabi memberikan nasehat sebagai berikut:
“Bila kamu mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”.
Nasehat itu kemudian diikuti oleh sahabat Umar yaitu tanahnya disedekahkan dengan ketentuan:
- tidak boleh dijual pokoknya
- tidak boleh diwaris
- tidak boleh dihibahkan
- sedekahnya diperuntukkan bagi fakir miskin, sanak kerabat, untuk memerdekakan budak, sabilillah dan tamu
- pengawas harta wakaf boleh menikmati hasilnya sekedarnya namun tidak boleh berlebih-lebihan.
Dari hadis tentang wakaf Umar tersebut diperoleh ketentuan umum tentang wakaf yaitu:
(1). Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain baik dengan jalan dijualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan.
(2). Harta wakaf terlepas dari milik wakif (orang yang berwakaf).
(3). Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebaikan menurut ajaran Islam.
(4). Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak ikut menikmati harta wakaf sekedar yang diperlukan, tidak boleh berlebih-lebihan.
(5). Harta wakaf dapat berupa benda-benda tidak bergerak, misalnya tanah, gedung dan sebagainya, yang dapat tahan lama dan tidak musnah seketika setelah dipergunakan.
(6). Harta wakaf berlaku untuk selama-lamanya.

3. Unsur-unsur Wakaf dan Persyaratannya
Unsur-unsur (rukun) wakaf itu ada empat macam, yaitu:
(a). Orang yang berwakaf (Wakif)
(b). Harta yang diwakafkan (Maukuf)
(c). Tujuan wakaf (Maukuf ‘alaih)
(d). Pernyataan wakaf (Sighat)

(a). Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif)
Untuk sahnya wakaf, maka orang yang berwakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Mempunyai kecakapan melakukan tabarru’, yaitu mempunyai pertimbangan akal yang sempurna bagi orang yang telah baligh (dewasa). Jadi dengan kata lain orang itu sudah dewasa dari segi umur dan mempunyai kecakapan bertindak.
(2). Berakal sehat.
(3). Tidak terpaksa.
(b). Syarat-syarat harta wakaf
Wakaf dipandang sah apabila harta wakaf (maukuf) memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Harta wakaf merupakan harta yang bernilai.
(2). Harta wakaf milik wakif.
(3). Harta itu tahan lama dalam penggunaannya.
Selain tanah atau gedung maka harta wakaf dapat pula berupa modal uang yang diperdagangkan atau berupa saham pada perusahaan dagang dan sebagainya.
(c). Syarat-syarat tujuan wakaf
Sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yaitu merupakan salah satu amalan sadaqah, maka tujuan wakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1). Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.
(2). Tujuan wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal yang mubah menurut ajaran Islam.
(3). Tujuan wakaf harus jelas, baik yang ditijukan kepada kelompok orang-orang tertentu atau badan-badan tertentu.
(d). Syarat-syarat Sighat Wakaf
Sighat wakaf atau pernyataan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan:
(1). Dengan lisan atau tulisan, hal ini dapat dinyatakan kepada siapapun juga
(2). Dengan isyarat, hal ini hanya ditujukan kepada orang yang tidak mampu menggunakan cara lisan atau tulisan.

4. Macam-macam Wakaf
Wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
(a). Wakaf Ahli atau wakaf keluarga atau dapat juga dikatakan sebagai wakaf khusus, ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang atau lebih, baik masih keluarga atau orang lain. Wakaf khusus ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Sebagai contoh wakaf ahli ini misalnya: seseorang mewakafkan buku-bukunya untuk anak-anaknya yang mampu menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucunya dan seterusnya.
(b). Wakaf Khairi (umum), ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang pada dasarnya sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir sekalipun wakif telah meninggal dunia selagi harta wakaf itu masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf khairi inilah yang hasilnya benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.

2. Hukum Prifat (Mu’ammalat)
Yang dimaksud dengan hukum prifat disini ialah apa yang disebut oleh fuqaha dengan nama Fiqh Mu’ammalat dalam artinya yang khusus, yaitu menyangkut hukum benda (kebendaan).
Hal-hal yang dibicarakan dalam fiqh mu’ammalat dalam arti yang khusus ini hanyalah mengenai hak-hak manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, misalnya: hak penjual untuk menerima uang penjualan dan hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya, hak penyewa untuk menempati rumah yang disewanya dan hak pemilik rumah sewa untuk mendapatkan uang sewa dari penyewa, dan lain sebagainya.
Para ahli fiqih pada umumnya tidak memisahkan pembicaraan antara asas-asas mu’ammalat di satu pihak dengan hukum mu’ammalat di lain pihak, sehingga semua persoalan dari kedua bidang tersebut dibicarakan bersama dalam bab mu’ammalat.
Kalau dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka para ahli fiqih hanya membicarakan satu bidang saja yaitu bidang/bab perikatannya saja, tetapi tidak membicarakan secara khusus mengenai hukum kebendaan.
Apabila dilihat secara keseluruhan dan juga untuk bahan perbandingan dengan hukum perdata barat maka bidang mu’ammalat ini dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Asas-asas hukum mu’ammalat
b. Hukum Perdata
c. Hukum Dagang
d. Hukum Acara Perdata

a. Asas-asas Mu’ammalat
Disini akan dikemukakan secara garis besar hal-hal apa yang dibicarakan di dalam asas-asas mu’ammalat yaitu antara lain:
(1). Teori-teori tentang hak milik, cara-cara untuk memperoleh hak milik dan macam-macam hak milik.
(2). Perikatan (perjanjian), pembentukan perikatan, akibat-akibat adanya perikatan, hapusnya perikatan dan macam-macam perikatan.
(3). Kecakapan bertindak, pengertian dan tingkat-tingkat kecakapan, halangan-halangan kecakapan dan pengampuan.
(4). Hak dan kewajiban: sumber-sumber hak, macam-macam hak, misalnya hak kebendaan, hak milik, hak gadai, hak guna pakai dan lain sebagainya.
(5). Tanggungan, sumber-sumber tanggungan, obyek tanggungan dan syarat-syarat adanya tanggungan.
(6). Badan-badan hukum dalam fiqh dan segi-segi perbedaannya dengan manusia.

b. Hukum Perdata
Yang dibicarakan dalam bidang hukum perdata terutama mengenai bentuk-bentuk perikatan tertentu yaitu antara lain:
(1). Jual beli, gadai/hipotik
(2). Jaminan hutang (Al-Kafalah)
(3). Pemindahan hutang (Hiwalah)
(4). Kepailitan (At-Taflis)
(5). Perseroan dagang (As-Syarikah)
(6). Sewa menyewa (Al-Ijar)
(7). Penggarapan tanah (Al-Muzara’ah)
(8). Pembagian milik bersama (Al-Qismah)
(9). Dan lain-lainnya.

c. Hukum Dagang
Walaupun sudah sejak jaman dulu orang-orang Islam terutama orang-orang Arab terkenal sebagai pedagang yang telah mengadakan hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia ini, dari Afrika, Eropa, sampai ke India, Cina, namun dalam kenyataannya orang Islam belum mempunyai peraturan-peraturan yang mengatur tentang perdagangan dan seluk beluknya yang terpisah atau berdiri sendiri. Tetapi peraturan-peraturan mengenai hukum dagang ini secara garis besar masih diatur di dalam hukum perdata.
Salah satu bentuk perikatan dagang yang dibicarakan secara tersendiri yaitu perserikatan dagang yang disebut Mudharabah atau Qirald. Mudharabah ialah suatu perjanjian dagang bersama dimana modal ditanggung oleh seseorang sedang pihak yang satunya mempunyai tugas menjalankan modal itu untuk berdagang kemudian keuntungannya dibagi antara kedua orang tersebut menurut perjanjian yang telah ditentukan bersama.
Mengenai pembukuan yang dapat dipakai sebagai alat bukti tertulis juga tidak dibicarakan oleh para fuqaha. Hal ini mungkin disebabkan karena alat bukti yang memegang peranan penting dalam hukum Islam hanyalah keterangan-keterangan saksi.

d. Hukum Acara Perdata
Hal-hal yang dibicarakan dalam hukum acara perdata secara garis besar terbagi atas tiga bidang, yaitu: Peradilan (Al-Qadli), Gugatan (Ad-Da’wa), dan Persaksian (As-Syahadah). Dari ketiga bidang ini dirinci sebagai berikut:
(1). Syarat-syarat seorang hakim
(2). Cara memeriksa perkara
(3). Gugatan, obyek gugatan dan cara mengajukan gugatan
(4). Penggugat dan tergugat
(5). Alat-alat pembuktian, bukti tertulis, saksi, pengakuan, sumpah, dan lain-lain
(6). Pelaksanaan keputusan hakim.

3. Hukum Pidana Islam (Al-Jinayah)

a. Pengertian Jinayat dan Jarimah
Hukum Pidana Islam dalam Fiqh Islam disebut dengan istilah Al-Jinaayat, yang artinya adalah perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.
Semua perbuatan dosa, kejahatan dan pelanggaran adalah perbuatan yang termasuk dalam perbuatan pidana (jarimah). Dengan demikian maka Al-Jinaayat atau Hukum Pidana Islam adalah bidang hukum yang membicarakan macam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya.
Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkaam As-Sulthaaniyah memberikan definisi Jarimah sebagai berikut:
“Jarimah adalah larangan-larangan Syara’ yang diancam dengan hukuman Hadd atau Ta’zir”.
Hukuman Hadd adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Hukuman Ta’zir adalah hukuman yang ketentuannya tidak dipastikan dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tetapi ketentuannya menjadi wewenang penguasa.
Larangan-larangan Syara’ yang disebut jarimah itu dapat berupa pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, misalnya: melanggar larangan zina, minum-minuman keras dan dapat juga berupa meninggalkan hal-hal yang diperintahkan, misalnya: mengabaikan kewajiban zakat.
Perbuatan-perbuatan yang jika dikerjakan atau ditinggalkan dipandang sebagai jarimah ialah perbuatan yang mempunyai akaibat merugikan perseorangan atau masyarakat dalam aqidah, harta benda, harga diri, ketenteraman jiwa dan sebagainya yang berhak memperoleh perlindungan (A. Azhar Basyir, 1982: 1).

b. Unsur-unsur Jarimah dan Macam-macam Jarimah
(1). Unsur-unsur Jarimah
Sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(a). Unsur formal, yaitu adanya nash atau dasar hukum yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah dianggap tidak ada sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur formal adalah firman Allah dalam Kitab Suci Al-Qur’an S. Al-Isra’ 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus utusannya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan dijatuhkan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Untuk dinilai bahwa seseorang telah membangkang ajaran Rasul Allah harus terlebih dahulu diketahui adanya ajaran Rasul Allah yang dituangkan dalam nash.
(b). Unsur material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur material ialah Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah yang mengajarkan bahwa “Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata”.
(c). Unsur moral, yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab yang hanya dikenakan terhadap orang yang telah dewasa/baligh, sehat akalnya dan tidak terpaksa dalam melakukannya. Dengan kata lain unsur moral ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan terhadap orang mukallaf yang bebas dari paksaan. Unsur ini didasarkan kepada Hadis Nabi riwayat Ibnu Majjah dan Abu Dzarr yang mengajarkan bahwa “Allah melewatkan hukuman terhadap umat Nabi Muhammad karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan” (A. Azhar Basyir, 1981: 4).
(2). Macam-macam Jarimah
Dilihat dari berat ringannya macam hukuman yang diancamkan, Hukum Pidana Islam mengenal empat macam Jarimah, yaitu:
(a). Jarimah Qishash, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishash yaitu hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah:
1. Pembunuhan dengan sengaja, ini ancaman hukumannya adalah pidana mati
2. Penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotong atau terlukanya anggota badan, ini ancaman hukumannya adalah sama yaitu dipotong atau dilukai anggota badannya.
(b). Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat, yaitu hukuman ganti rugi atas penderitaan yang dialami si kurban atau keluarganya. Yang termasuk jarimah ini adalah:
1. Pembunuhan tidak sengaja (pembunuhan karena alpa), hukuman dari jarimah ini adalah membayar diyat/ganti rugi. Dan ganti rugi ini dapat berupa:
- Kifarat/pembebasan hamba sahaya yang beriman
- pembayaran ganti rugi kepada keluarganya
- puasa dua bulan berturut-turut
- jika dimaafkan maka bebas untuk tidak membayar ganti rugi
2. Penganiayaan tidak sengaja, ancaman hukumannya adalah membalas melukai anggota badan orang yang menganiaya atau membayar diyat/ganti rugi sesuai dengan permintaan penderita atau keluarganya.
(c). Jarimah Hudud, ialah jarimah yang diancam dengan hukuman hadd yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Hukuman ini tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan oleh manusia. Yang termasuk jarimah ini ialah:
1. Pencurian, yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara sembunyi dari tempat simpanan dengan maksud untuk dimiliki. Ancaman hukuman pencurian adalah potong tangan, namun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:
- pencurinya harus dewasa, berakal sehat dan tidak terpaksa
- harta itu milik orang lain
- pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semesti- nya, sesuai dengan macam harta yang dicuri
- harta yang dicuri memenuhi nishab, yaitu seharga emas minimal 1,62 gram
- pencurian tidak terjadi karena daya paksa, misalnya orang yang kelaparan mencuri untuk menyelamatkan jiwanya.
2. Perampokan, yaitu kejahatan merampas harta di jalan umum dengan cara kekerasan. Jarimah perampokan disebut Hirabah. Ancaman hukumannya adalah dihukum mati dan disalib, dihukum mati saja, dipotong tangan atau kakinya atau diasingkan.
3. Pemberontakan, jarimah ini ancaman hukumannya adalah diperangi kembali.
4. Zina, ialah hubungan kelamin antara pria dan wanita yang tidak dihalalkan oleh syara’. Ancaman hukumannya adalah didera/dicambuk seratus kali. Ancaman hukuman ini dapat diterapkan apabila ada bukti yang kuat yaitu:
- persaksian empat orang laki-laki yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan perbuatan zina itu
- pengakuan dari pelakunya yang benar-benar dapat meyakin-kan kebenarannya.
5. Menuduh zina, ancaman hukumannya adalah delapan puluh kali cambukan dan ditambah pidana tambahan yaitu tidak boleh menjadi saksi.
6. Minum minuman keras, perbuatan ini dianggap sebagai jarimah karena dapat merusak akal pikiran. Larangan ini ditujukan kepada setiap minuman keras yang potensial dapat memabukkan. Ukurannya adalah tidak tergantung banyak atau sedikit yang diminum, mabuk atau tidak, tetapi kalau minum minuman yang potensial dapat memabukkan dapat dihukum. Hukumannya adalah empat puluh kali cambukan atau dapat ditambah sampai dengan delapan puluh kali cambukan.
7. Riddah, ialah keluar dari agama Islam untuk pindah agama atau tidak beragama sama sekali. Ancaman hukumannya siksa neraka di akhirat nanti.
(d). Jarimah Ta’zir, ialah semua jarimah yang dilarang syara’ tetapi tidak diancam dengan sesuatu macam hukuman di dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Dapat dipandang sebagai jarimah ta’zir jika merugikan pelakunya atau orang lain. Mengenai ancaman hukumannya ditentukan dengan besar kecilnya kerugian masyarakat sebagai akibat dari jarimah yang dilakukan, dan dapat pula ditentukan oleh penguasa. Macam-macam jarimah ta’zir antara lain:
1. Riba
2. Menyuap
3. Berjudi
4. Pelanggaran lalu lintas
5. Menipu takaran/timbangan
6. Pelanggaran terhadap peraturan bea cukai
(A. Azhar Basyir, 1981: 4 - 28).

4. Hukum Tatanegara (Siasah Syar’iyyah)
Dalam soal ketatanegaraan Fiqh Islam mempunyai dua kumpulan aturan yaitu: al-fiqhul-dasturi (Hukum Ketatanegaraan) dan al-fiqhul-idari (Hukum Administrasi dan Keuangan).
a. Hukum Ketatanegaraan mengatur secara garis besar persoalan-persoalan sebagai berikut:
(1). Pimpinan negara/kepala negara
(2). Menegakkan pemerintahan Islam
(3). Teori-teori tentang timbulnya negara
(4). Negara dan syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu negara
(5). Hak dan kewajiban negara
(6). Hubungan penguasa dengan warga negara dalam berbagai lapangan hidup.
b. Yang dimaksud dengan hukum administrasi ialah kumpulan aturan yang mengatur kegiatan penguasa eksekutif termasuk di dalamnya kegiatan penguasa dalam bidang keuangan.

5. Hukum Internasional
Hukum Internasional dalam Islam dibagi menjadi dua bidang, yaitu: Hukum Perdata Islam Internasional dan Hukum Pidana/Publik Islam Internasional.
a. Hukum Perdata Islam Internasional
Hukum Perdata Islam Internasional terdiri atas kumpulan aturan yang mengatur tentang “hukum mana yang berlaku apabila ada hubungan hukum perdata antara orang-orang Islam dengan orang-orang yang bukan Islam di negara Islam”.
Orang-orang yang bukan Islam dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
(1). Harbi yaitu penduduk negara musuh.
(2). Dzimmi ialah orang yang bukan Islam yang menetap di negara Islam.
(3). Musta’min adalah orang yang bukan Islam yang menetap di negara Islam untuk satu maksud tertentu.
Dalam hubungannya dengan ketiga golonganorang bukan Islam tersebut di atas, diatur juga mengenai beberapa hal, antara lain:
(1). Hukum Islam mana yang berlaku atas mereka.
(2). Hukum yang berlaku apabila terjadi sengketa antara golongan-golongan itu sendiri, atau antara orang Islam dengan salah satu golongan tersebut di atas yang menyangkut harta benda.
(3). Hukum pernikahan antara orang Islam dengan Ahli Kitab (orang Yahudi/Nasrani) mengenai:
(a). Hukum pernikahan mana yang harus dilaksanakan dan cara-cara pelaksanaannya.
(b). Ketentuan-ketentuan hukum yang timbul dari pernikahan tersebut seperti hak dan kewajiban suami isteri, pemutusan perkawinan, warisan, wasiat, dan sebagainya.

b. Hukum Publik Islam Internasional
Hukum Publik Islam Internasional mengatur hubungan hukum antara Negara Islam dengan negara lain atau negara-negara Islam dengan warga negara lain di luar lapangan keperdataan.
Mengenai hubungan antar negara maka salah satu hal yang diatur ialah masalah-masalah yang menyangkut hubungan dan suasana perang (bab Jihad). Hal-hal yang dibicarakan dalam bab Jihad itu antara lain:
(1). Dasar hukum perang
(2). Orang-orang yang terkena kewajiban berperang
(3). Peraturan-peraturan yang berlaku dalam suasana perang dan di medan perang
(4). Kedudukan harta benda dari musuh
(5). Pengakhiran perang dan perjanjian damai.
Mengenai hubungan antara negara Islam dengan warga negara asing, hal-hal yang diatur antara lain:
(1). Prinsip-prinsip teritorialitas dan nasionalitas serta pengaruhnya terhadap perbuatan-perbuatan negeri Islam atau warga negara lawan.
(2). Penyerahan orang yang melakukan perbuatan pidana atau pengusiran dari suatu negara.
(3). Perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang asing, seperti: minum minuman keras, pencurian, dan sebagainya serta hukum mana yang berlaku atas mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar