MAKALAH
Syariah & Perempuan
Menegosiasikan Ruang Kesetaraan
(Telaah Buku Abdullahi an-Naim
The Future of Sharia In the Secular State “)
Oleh: Siti Ruhaini Dzuhayatin
Yogyakarta, 13 – 14 Agustus 2008
Syariah & Perempuan
Menegosiasikan Ruang Kesetaraan
(Telaah Buku Abdullahi an-Naim
The Future of Sharia In the Secular State “)
Siti Ruhaini Dzuhayatin
PSW-UIN Yogyakarta
an-Naim: Sosok dan Pemikirannya
Perkenalan saya dengan an-Naim dimulai dari rasa penasaran saya buku yang diterjemahkan oleh teman-teman KLIS pada pertengahan 1990an. Buku itu terasa sangat menohok dengan judul ”Dekonstruksi Syariah”. Syariah di dekonstruksi? Bagaimana bisa? Seperti yang saya duga, buku ini akan mengundang kontroversi berkepanjangan. Tahun 1996 saya berkesempatan untuk bertemu an-Naim pertama kali di Kuala Lumpur dalam suatu seminar internasional. Pada saat itu saya berkesempatan membeli buku aslinya dan bertanya langsung dengan penulisnya tentang keja ’ambisius’ tersebut. An-Naim begitu kaget ketika saya mengabarkan bahwa terjemahan Indonesia bukunya. It is ambitious ! sergahnya. Yang dia maksudkan adalah bagaimana mereformasi pemahaman tentang Syariah tetapi tidak merusak sendi dan struktur utama Syariah. Dekonstruksi adalah suatu upaya perubahan yang bersifat struktural. Oleh sebab itu ia memilih reformasi bukan dekonstruksi.
Abdullahi an-Naim merupakan sosok yang banyak dirujuk dalam satu dekade terakhir ini di tanah air setelah menerjemahan bukunya ” Toward Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law” diterjemahkan oleh LKIS secara lebih ”propagandis dari aslinya. Bersama dengan intelektual lain yang seperti Hasan Hanafi, Muhammad Arkon, Nasr Abu Zaid mampu memupuk wacana tentang ”Islam baru” yang mulai bersemai pada awal 1990an. Buku an-Naim yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ”Dekonstruksi Syariah” secara cepat menggulirkan
perdebatan pada banyak kalangan. Dibandingkan dengan yang lain, tulisan an-Naim sangat cepat mendapatkan respond dan menjadi perdebatan banyak kalangan. Hal tersebut disebabkan wacana yang dikembangkan bersentuhan secara langsung dengan ”jantung ajaran Islam” yaitu ”Syariah”.
Namun sangat disayangkan tulisan-tulisan an-Naim tidak secara massif dapat ditemukan di Indonesis sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman terhadap gagasan-gagasannya. Disamping itu, masalah yang dikemukakan an-Naim terkesan cukup rumit, terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang ilmu hukum dan menekuni perangkat-perangkat hukum internasional dan kenegaraan. Kerumitan tersebut saya rasakan meski berlatar belakang fakultas Syariah. Selama ini wacana-wacana Syariah yang dikembangkan masih tergolong ’konvensional’ dan lebih menekankan pada masalah-masalah ahwal asy-Syahsiyah yag terbatas. Sementara pemikiran an-Naim menghajatkan pengetahuan inter-disipliner dan perhatian pada masalah konsep kenegaraan modern (nation state) yang cukup kompleks.
Kompleksitas kerangka pikir ini tentu saja tidak dibangun dari balik meja akademis yang mengantarkanna menjadi salah satu profesor hukum terkemuka di Amerika. Kerangka pikir ini terbentuk dari keyakinanya sebagai seorang intektual kritis yang meyakini bahwa hakekat intelektualitas adalah aktivisme (intellectualism is activism). Kombinasi sebagai intektual dan aktivis menjadikan tulisannya menjadi sangat faktual, aktual dan jauh dari kecenderungan para ahli hukum yang normatif. Lewat aktivisme inilah an-Naim mengembangkan dan mendorong terjadinya jaringan pemikiran yang luas untuk saling belajar dari berbagai kalangan intelektual muda di negara-negara Muslim. Kerendahan hainya untuk belajar dari semua kalangan telah mengokohkan intelektualitasnya menjadi sosok yang cukup ’objektif’ melihat masalah kemanusiaan yang tengah terjadi.
Tidak seperti tuduhan banyak orang bahwa ia menghamba pada kepentingan Barat dan Amerika yang telah memberinya ’ketenaran’. An-naim adalah sosok yang cukup konsisten dalam membela prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dikatakannya sebagai ’puncak kesadaran manusia’. Saya
2
berkesempatan mengikuti fellowship Islam dan hak asasi manusia di Universitas Emory pada tahun 2003. Dalam kesempatan tersebut, saya belajar dan mengamati dari dekat aktifitas an-Naim, tidak saja kehidupan intelektualnya tetapi juga kehidupan pribadi dan keluarganya. An-Naim adalah salah satu dari kalangan intelektual Amerika yang nyaring menentang invasi Amerika ke Irak pada tahun 2003 dimanapun ia berada, termasuk dalam ruang kuliah dan ruang-ruang publik lainnya. ”Amerika adalah pelanggar hak asasi manusia di Irak” dan harus dihentikan. An-Naim juga orang yang bersuara keras dan lantang menentang pelarangan atribut keagamaan, termasuk penggunaan jilbab di lembaga-lembaga publik di Perancis dan di Turki karena kedua regim tersebut melanggar hak asasi manusia. Ia sangat aktif menekan para pemimpin Denmark untuk memberikan hak-hak yang sama bagi imigran Muslim seperti warga negara lainnya sebagaimana ia bersuara untuk suatu kehidupan yang lebih demokratis di Iran dan Saudi Arabia serta negara-negara Islam yang lain.
Penjawab pertanyaan tentang ambivalensi Amerika dalam penegakan HAM ia menjawab, ” saya memandang prinsip-prinsip HAM sebagai suatu prinsip kebenaran yang harus ditegakkan. Rasulullah bersabda: tegakkanlah kebenaran walau sedikit meskipun besok akan datang hari kiamat. Oleh sebab itu, apakah Amerika atau Barat melanggar HAM saya tetap akan menegakkannya karena HAM bukan produk Amerika atau Barat tetapi produk modernitas. Bahwa ada ambivalensi dan bias Barat dalam penegalkan HAM, itu memang terjadi tetapi hal itu merupakan bagian dari advokasi aktifis HAM (Human Rights Defender).
Membaca ”Paradoks Sekularisme” an-Naim
Buku terbarunya "The Future of Sharia In the Secular State" melengkapi tawaran-tawaran pemikirannya dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama yang mempunyai masa depan dalam proses perkembangan peradaban manusia. Bagaimanapun Islam akan ’bertautan’ (untuk tidak mengatakan berbenturan) dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi yang lebih intensif dipermulaan millenium baru ini. Awal mellanium ini
3
ditengarai oleh makin kuatnya kesadaran manusia untuk merumuskan prinsip-prinsip, parameter dan indikator ’kesejahteraan’ yang melampaui sekat-sekat premordialisme dan nasionalisme yang terbukti telah menimbulkan berbagai kerusakan kemanusiaan seperti genoside, kolonialisme, ekploitasi, perang dunia dan berbagai ketegangan dan kekerasan yang distruktif.
Dalam buku ini, an-Naim menekankan pentingnya merekonstruksi ulang Syariah yang didefinisikan sebagai hasil pemikiran manusia terhadap Islam. Oleh karena hasil pemikiran manusia, Syariah ”lekang” oleh zaman dan ’tersekat’ dalam ruang sosial dan budaya tertentu. Pemikiran ulang itu tidak saja perlu tetapi perubahan tersebut memang bagian inherent dari Syariah. Pada saat ini Syariah harus dipahami dalam ruang sosial yang disebut dengan ’negara teritorial (teritorial state) dengan heteroginitas konteks sosial, sistem politik yang demokratis dan relasi sosial yang sangat kompleks. Tentu berbeda ketika Syariah terbentuk dan dikodifikasikan dalam ruang sosial yang relatif homogin, dengan sistem pemerintahan monarkhi absolut dan relasi sosial yang terbatas. Heteroginitas masyarakat merupakan konsekwensi logis dari proses migrasi terjadi akibat dari modernisasi. Heteroginitas berbasis ras, etnis, agama dan klas ekonomi dalam masyarakat modern ini menghajatkan suatu pola hubungan sosial yang terbuka dan saling menghargai serta suatu sistim politik yang netral an tidak berpihak.
Disamping itu, karena bersumber dari pemahaman manusia terhadap Islam, Syariah juga tidak tunggal melainkan beragam sebagaimana tercermin dalam madzhab-madzhab dalam Islam. Keberagaman Syariah dan heteroginitas masyarakat modern mustahil dapat dibingkai dalam sistem politik yang mengatas namakan Syariah? Zainah Anwar (2002) menanggapi masalah ini dengan pertanyaan: What is Islam? Whose Islam?. Bertanyaan tentang apa itu Islam sebenarnya mempertegas sinyalemen tentang beragamnya pemahaman manusia mengenai Islam atau dalam istilah an-Naim disebut Syariah. Milik siapakah Islam menyiratkan suatu gugatan tentang otoritas siapa untuk mengatakan Islam yang benar. Dari kompleksitas tersebut an-Naim berkesimpulan bahwa kita Syariah
4
ditempatkan sebagai dasar dan hukum negara maka pertanyaannya adalah Syariah yang mana? Sejarah memberikan hikmah bagaimana klaim terhadap Syariah tertentu dalam suatu kekuasaan politik telah menjadi tiran dan petaka bagi Syariah yang lain. Sebut saja sejarah kelam Sunniy dan Syiah yang masih terasakan pada saat ini.
Sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, membicarakan Syariah dan sekulerisme an-Naim harus diletakkan dalam bingkai sosio-politik ketimbang suatu kerangka normatif yang romantik yang menyejarah. Perbincangan ini harus diletakkan dalam kerangka negara modern dengan pembagian peran antara negara dan masayarakat sipil. Yang diangankan oleh an-Naim tentang negara sekular adalah suatu tata pemerintahan yang mampu berperan secara optimal dalam ’delivering public goods’ termasuk didalamnya adalah keamanan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat dengan segenap kemajemukannya. Untuk dapat berlaku demikian maka negara harus memiliki landasan kebijakan yang netral dan tidak berpihak. Dalam pandangan an-Naim peran semacam ini sulit jika tidak bisa dikatakan mustahil diperankan oleh Syariah.
Lantas apakah Syariah harus hilang dalam kerangka ini. An-Naim menjawab pertanyaan ini dengan suatu usulan yang paradoksal tentang pemisahan dan kesinambungan antara negara dan Syariah. Dengan menolak pandangan sekularisme militan yang menyingkirkan agama sama sekali dalam kekuasaan politik, an-Naim lebih melihat keterpisahan struktural dan otoritas politik dan kesinambungan pada tingkat etos and spirit bernegara. Peran Syariah adalah sebagi landasan moral dari suatu undang-undang dan orang-orang yang melaksanakannya. Untuk mempertegas apa yang ia maksudkan dengan sekularisme, an-Naim melontarkan gagasan tentang pluralisme yang senada dengan Hardiman dimana pluralisme adalah pengakuan terhadap eksistensi keberagaman budaya dan agama dalam kehidupan sosial. Baik an-Naim dan Hardiman menolak pandangan bahwa pluralisme adalah proses sinkritisme dan relatisme atau pencampur adukan agama.
5
Pada tingkat kebijakan, negara harus dapat menjamin hak hidup, termasuk keamanan dan kenyaman dari seluruh kebudayaan dan kelompok agama yang beragam, termasuk keberagaman madzhab dan paham didalamnya. Keberagamaan harus dimaknai sebagai ’mozaik’ yang indah dalam bingkai kebangsaan ketimbang perpecahan. Untuk itu negara harus mampu mencegah berbagai kekerasan yang mengancam eksistensi keberagaman tersebut.
Pada tingkat individual, saya memahami kedua konsep tersebut secara sederhana yaitu ’jika saya punya hak untuk hidup dengan aman dan nyaman dengan pilihan hidup yang saya yakini maka orang lain pasti juga memiliki hak yang sama. Atau , ”saya ingin memahami dan memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin mereka melakukan hal yang sama kepada saya’. Hal tersebut mencerminkan suatu pola hubungan yang reciprocal dan egaliter yang konstruktif.
Anggitan semacam ini menjadi rumit jika pembaca buku ini tidak memperkaya pengetahuan tentang sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, sekularisme sebagai ideologi politik dan sekuralisme militan (Hardiman) atau fundamentalisme sekular (secular fundamentalism). Disamping itu, an-Naim juga membicarakan pluralisme sebagai suatu basis sosio-kultural terhadap suatu pandangan dan praktik negara yang sekular. Sekali lagi, buku ini tidak memberikan keleluasaan bagi pembaca untuk menyimak lebih panjang lagi terminologi ini. Senada dengan kompleksitas sekularisme, pluralisme juga mengalami nasib yang sama dikalangan umat Islam. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa pluralisme adalah menyamakan agama sama benarnya secara normatif dan terjebak dengan suatu pandangan relativisme.
Hanya dengan kelapangan dada dan kesabaran dari pembaca untuk mencari referensi pendamping yang komprehensif tentang sekularisme dan pluralisme maka pembacaan buku ini menjadi lebih bermakna dan mencerahkan. Jika pandangan pada keduanya lebih banyak ditengahi oleh ’trauma kolonialisme Barat’ yang ”sengaja” menelikung konsep tersebut untuk kepentingan politik dimasa maka buku ini menjadi sia-sia. An-Naim
6
sendiri tidak menampik bahwa pandangan negatif tenatang pluralisme dan sekularisme disebabkan penelikungan ’kolonial Barat’ dimasa lalu untuk kepentingan politik dominasi namun ’trauma sejarah’ tersebut tidak akan tersembuhkan jika tidak dibarengi dengan kejernihan hati untuk melihat hal-hal yang hakiki.
Relevansi dengan Pengalaman Keindonesiaan
Dalam bab tentang Indonesia, an-Naim memberikan suatu apresiasi terhadap para founding fathers dari negeri ini yang berlapang hati berkehendak untuk melakukan negosiasi bagi ’suatu ruang bersama bagi kesetaraan’ diatas kemajemukan yang ada. An-Naim bahkan mengambarkan paradoks sekularisme tersebut tercermin dengan baik dalam proses membentuk negara Indonesia. Sebagai bangsa yang hampir 90% Muslim, masyarakat Indonesia tidak meletakkan Islam sebagai agama negara. Tentu tidak dengan sendirinya hal tersebut terjadi. Proses negosiasi yang intensif dilakukan sehingga tercapai kesepakatan tentang landasan negara Indonesia yang ’sekular namun beragama’. Kesepakatan tersebut tidak saja untuk menjamin kesetaraan akses dan partisipasi terhadap ruang publik namun juga pelibatan yang seimbang seluruh komponen masyarakat pengambilan keputusan melalui keterwakilan yang demokratis serta menjamin terpenuhinya hak-hak asasi seperti keamanan, pangan, kesehatan, pendidikan, partisiapsi politik dan ekonomi serta ekpresi sosial budaya. Itulah hakekat dari suatu negara sekular. Gagasan an-Naim pernah dipraktekkan di Indonesia melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini dapat dikategorikan sebagai undang-undang yang didasarkan pada Syariah(’Syariah inspired law’ ) tetapi tidak disebut Hukum Perkawinan Islam
Namun demikian, dalam perkembangannya, kecenderungan untuk membelokkan ’prinsip-prinsip sekular-beragama’ ini dilakukan demi untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu, baik melalui gagasan penerapan Syariat Islam maupun dominasi politik seperti rezim order baru. Order Baru memberikan batasan lima agama sebagai agama resmi yang tentu saja menafikan eksistensi keyakinan-keyakinan lain yang mengakar dalam
7
msayrakat Indoensia yang majemuk. Disisi lain, menggunaan Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia secara politik untuk menjaga stabilitas politik orde baru juga menimbulkan masalah dan mengulangi ’sejarah kelam’ umat Islam yang penuh kekerasan demi untuk mengklaim ”Islam yang benar”. Alih-alih menjadi majelis yang dapat melindungi umat Islam dari manipulasi dan intervensi politik, MUI melalui fatwanya sering menjadi sumber kekerasan bagi sesama kaum Muslim. Ambil contoh dari fatwa pelarangan madzhab Syiah dan Ahmadiyah dan juga pemahaman-pemahaman Islam yang tidak arusutama. Fatwa kesesatan terhadap paham-paham keagamaan tersebut berpotensi menimbulkan kekerasan massal, bertanyaan Anwar menjadi cukup relevan: Islam yang mana? Islam siapa? Ironisnya, MUI adalah suatu lembaga keagamaan semi-pemerintah yang secara operasional, termasuk pemberian honor anggotanya diambil dari anggaran pemerintah, pusat dan daerah yang sebagaian diambil dari pajak dari mereka yang difatwa ’sesat’ atau ’menyimpang’. Idealnya, MUI dan Departemen Agama menjadi lembaga ’penjamin’ dan pelindung keberadaan umat Islam dengan paham yang berbeda-beda untuk mendapatkan hak hidup dan hak-hak turunannya dibumi Indonesia. Karena yang paling tahu tentang kebenaran adalah Allah maka serahkan padaNya. Tugas manusia adalah menciptakan ’surga’ kedamaian di dunia dengan segenap perbedaannya.
Relevansi dengan Pengalaman Perempuan di Indonesia
Dibandingkan dengan saudara-saudara mereka di dunia Timur Tengah, perempuan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya lebih menikmati kebebasan hidup. Namun demikian, masih banyak masalah yang muncul jika partisiapsi mereka dihadapkan dengan parameter-parameter kemajuan saat ini. Dari data BPS masih nampak kesenjangan akses an partisipasi laki-laki dan perempuan dalam berbagai sektor. Dibidang pendidikan, misal,nya 64,5% perempuan dari kategori penduduk miskin memiliki pendidikan rendah, sebagian tidak menamatkan Sekolah Dasar. Diantara 43% kelompok buta huruf, 79,6% adalah perempuan. Survey demografi dan kesehatan
8
Indonesia tahun 2004, 50% perempuan menderita anemia yang menyumbangkan pada tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi yang baru lahir(AKI). Kematian ibu melahirkan Indonesia adalah 380 per 100.000 kelahiran. Indonesia merupakan negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Dan yang lebih parah lagi, kantung-kantung AKI yang tinggi berada di daerah dengan penduduk Muslim yang padat seperti NTB dan Jawa Timur. Kondisi ini juga berbanding lurus dengan rendahnya pendidikan perempuan di daerah tersebut. Di Jawa Timur, misalnya, angka putus sekolah anak perempuan di madrasah empat kali lipat dibandingkan dengan anak perempuan disekolah umum.
Partisipasi publik perempuan juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Hanya ada 8,7 % jumlah anggota parlemen pusat dan makin rendah di tingkat daerah. Meski jumlah perempuan dalam kabinet makin bertambah namun pada posisi teras departemen belum menunjukkan peningkatan berarti. Indonesia berada pada peringkat 87 pada Gender Development Index (GDI) dan lebih rendah dari Vietnam dan tertinggal jauh dari Singapore (28) dan Malaysia 52. Disamping itu, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga makin hari makin bertambah. Rifka Annisa WCC mencatat korban KDRT 3 tahun terakhir ini di DIY dan sekitarnya mencapai lebih 600 kasus.
Apa relevansi antara kesenjangan diatas dengan masalah Islam yang sedang saya bicarakan. Jika kita merujuk pada tema buku an-Naim maka apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini adalah proses negosiasi terhadap akses dan partisipasi pada ’ruang publik’ dan keterjangkauan keadilan sosial. Sebagaimana ditegaskan oleh an-Naim, Keterjangkaun keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan latar belakang ras, etnis, agama, klas, gender dan diffabel) hanya dapat dicapai jika prinsip-prinsip hak asasi manusia dijadikan pijakan kebijakan negara. Saat ini hak-hak perempuan untuk pendidikan dan kesehatan masih jauh dari standar keadilan. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti akar masalah (root-causes), faktor penguat seperti perilaku masyarakat dan kebijakan negara.
9
Pemahaman agama dapat menjadi akar masalah kesenjangan gender jika tidak ada upaya bagi reinterpretasi dan rekonstruksi nilai-nilai dan norma sosial disebabkan oleh dominasi wacana keagamaan arusutama. Berangkat dari berbagai pengalaman perempuan dalam melakukan advokasi terhadap perbaikan kualitas hidup perempuan selalu berbenturan dengan pemahaman agama arusutama yang mengandung bias budaya patriakhi. Benturan tersebut akan lebih keras lagi jika ada suatu lembaga yang mengklaim merepresentasikan ’kebenaran Islam’ dan terlebih lagi dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Dalam masyarakat yang paternalistik negara dan lemabaga-lembaga ororitatifnya masih dipandang sebagai pemegang otoritas kebenaran oleh masayarakat. Fatwa MUI, misalnya, tentang pelarangan pluralisme, sekularisme dan liberalisme termasuk kesetaraan gender telah banyak menimbulkan keresahan yang tidak perlu. Tidak seperti yang dituduhkan selama ini, bahwa program kesetaraan gender adalah agenda Barat. hakekatnya, program ini adalah program pemerintah Indonesia yang telah memiliki kekuatan hukum melalui UU no.8 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Hal tersebut juga dikuatkan dengan Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan. Kedua UU tersebut merupakan retifikasi dari konvensi internasional yang ditanda tangani oleh seluruh anggota PBB termasuk negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demi untuk mencapai tujuan kesetaraan gender maka perubahan nilai dan norma budaya sangat diperlukan. Dalam konteks Indonesia, kepahaman alternatif yang lebih ’ramah’ terhadap perempuan sangat diperlukan. Beberapa pihak , baik secara mandiri maupun secara kolektif, telah melakukan upaya-upaya ke arah itu. Namun demikian, upaya-upaya tersebut seringkali mengalami jalan buntu karena tidak terbukanya ruang dialog dan negosiasi sebagaimana terjadi pada masalah counter legal draft (CLD) terhadap UU Perkawinan dan KHI serta UU anti Pornografi dan Pornoaksi.
Pada masalah pertama, sebelum mendapatkan banyak input dari kalangan yang lebih luas pihak MUI telah mengeluarkan imbauan (?) bahwa CLD dilarang untuk didiskusikan dalam forum-forum terbuka. Bahkan
10
seorang oknum MUI mengatakan bahwa CLD merupakan ’ijtihad setan’. Meski saya tidak termasuk dalam anggota tiem, saya sangat menyayangkan imbauan dan sikap dari Departemen Agama sebagai wakil pemerintah yang menghentikan inisiatif tersebut. Seharusnya, draft tersebut dibuka untuk umum dan didiskusikan, dinegosiasikan sehingga menjadi alternatif bagi pembaharuan UU Perkawinan 1997 dan peraturan turunannya. UU Perkawinan sudah harus direvisi karena sudah banyak tertinggal dengan perubahan masyarakat. Kasus CLD menjadi prseden buruk bagi proses dialog dan negosiasi bagi ruang publik yang egaliter. Tawaran-tawaran CLD tentu bukan ’harga mati’ dan sangat perlu dinegosiasikan jikalau masyarakat cukup dewasa untuk berdialog dan bernegosiasi sehingga tercapai apa yang disebut dengan ’margin of negosiation’, bukan kesewenangan untuk memberakus suatu ide dengan tuduhan ’sesat’ hanya karena tidak sesuai dengan pemahaman arusutama.
Masalah UU Pornografi dan Pornoaksi merupakan tindakan yang cukup responsif dari pemerintah ketika mengeluarkan memutuskan untuk menunda UU tersebut karena akan dilakukan konsultasi publik yang lebih luas. Saya berharap keputusan tersebut merupakan pembelajaran pemerintah terhadap apa yang telah terjadi dengan CLD UU Perkawinan dan KHI. Memang diperlukan waktu yang panjang untuk mencapai konsensus tertentu dalam pengatur kehidupan sosial.
Disamping dua masalah diatas, ada keresahan tersendiri dikalangan perempuan dengan diperlakukannya penerapan Perda Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam secara formal dalam UU telah menimbulkan masalah sosial baru. Di Aceh, misalnya, penerapan Syariat Islam telah memasung gerak perempuan Aceh yang secara kultur sangat aktif dan dinamis serta meluaskan kekerasan terhadap perempuan. Kewajiban menggunakan jilbab telah memberikan ’legitimasi’ bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik seperti penarikan rambut , pemukulan dan psikis seperti lontaran kata-kata tidak senonoh kepada mereka yang tidak menggunakan kerudung. Disamping itu, seorang teman dari Aceh bercerita bahwa dibeberapa wilayah terjadi saling mebalas antara laki-laki dan
11
perempuan. Jika kaum laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan yang tidak berjilbab maka kaum perempuan memaksa dengan kekerasan terhadap laki-laki yang tidak ke masjid untuk sholat Jum’at. Larangan perempuan keluar rumah tanpa mahram menjadi suatu peraturan yang sia-sia, disamping tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang memang tidak mengenal segregasi sosial peraturan tersebut mustahil dilaksanakan dalam suatu masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, termasuk masalah kemiskinan.
Dalam catatan Endriana Noerdin, perlakuan Perda Syariat Islam yang parsial dan patriarkhis telah menyudutkan perempuan dalam kondisi yang tidak aman dan tidak nyaman dari sebelum Perda tersebut diberlakukan(2002). Disamping bias patriarkhi, Perda Syariah mengandung bias kelas tanpa memperhatikan bahwa keluarga miskin harus mempertahankan hidup dengan segala daya anggota keluarga, utamanya perempuan untuk bekerja dan menanggung beban ganda atau beban berlebihan. Saat ini, terdapat kurang lebih 130 juta penduduk miskin yang mayoritsnya tentu saja masyarakat Muslim. Perempuan dalam keluarga miskin tetap harus bekerja diluar rumah untuk menyambung hidupnya. Bahkan tidak jarang mereka berperan sebagai mencari nafkah utama. Pendapatan suami tentu saja mustahil dapat mencukupi biaya hidup yang makin kompetitif. Perempuan dalam kelompok ini, bahkan, sampai tengah malam masih bekerja, baik dipasar maupun dipabrik. Pemberlakuan Perda Syariat Islam yang dibungkus dengan istilah Perda Kesusilaan telah menimbulkan korban di Tangerang dan Bekasi dimana para buruh terjaring razia petugas Satpol pada saat mereka pulang dari pabrik. Tuduhan terhadap mereka adalah wanita tuna susila karena berkeliaran pada malam hari tanpa mahram dan berperilaku mencurigakan. Kasus yang cukup menghebohkan adalah seorang istri yang diciduk Satpol di lobbi hotel karena disangka PSK. Petugas berdalih karena ibu ini berperilaku mencurigakan (clingak-clinguk: bhs Jawa). Betul ibu tersebut terlihat gelisah karena menunggu suaminya yang sedang keluar dari hotel.
12
Pemberlakuan perda atau undang-undang harus dilakukan secara seksama dengan mengindahkan pengalaman dan harapan masyarakat, termasuk kelompok minoritas dan kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan.
Dalam masyarakat yang majemuk saat ini, konsep beragama bukan pada klaim kebenaran (’thruth claim’ ) dengan memperuncing berbedaan tetapi mengetengahkan konsep beragama yang dapat mendorong tercapainya nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, toleransi, saling menghargai dan menghormati keragaman dengan memperluas zona persamaan. Dalam Islam konsep-konsep tersebut merupakan nilai utama dari maqasid- asy-Syariah. Dengan demikian, cita Islam yang rahmatan lil alamiin. Kita kita dapat menciptakan surga di dunia mengapa kita menundanya dikemudian hari?
13
Referensi
Abdullahi an-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007)
F. Budi Hardiman, ”Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme” dalam Buletin Kebebasan, edisi No. 03/V/2007
Noerdin, Edriana, “Customary Institutions, Syariah Law and Marginalization of Indonesian Women”, dalam Kathryn Robinson and Sharon Bessell, Women in Indonesia: Gender Equality and Development (Singapore: ISEAS, 2002), hal. 179-197.
Zainah Anwar, ”What Islam, Whose Islam?: Sisters in Islam and Struggle for Women’s Rights dalam Robert Hefner, The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2002)
14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar