Rabu, 31 Maret 2010

Metodologi Interaksi Berbasis Maqasid Terhadap Sunnah Nabawiyah

Oleh: Helmi Basri

A. Pendahuluan:

Sunnah merupakan sumber utama yang kedua setelah Al Quran al Karim, sebagai sumber hukum yang fokus kajiannya pada sosok pribadi seseorang yaitu Rasullullah Muhammad SAW, maka ia memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak pernah dimiliki oleh sumber lain. Keistimewaan itu terlihat pada dua dimensi; Pertama: dimensi ilahi, hal ini dikarenakan oleh Sunnah yang tetap barlandaskan kepada wahyu Samawi1. Kedua: dimensi insani, karena sosok yang perkataan, perbuatan, dan bahkan diamnya yang harus dijadikan pedoman itu adalah seorang manusia biasa. Kedua dimensi diatas terangkum dalam firman Allah “katakanlah sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang mendapatkan wahyu , sesungguhnya tuhanmu adalah satu”2, oleh sebab keistimewaan itulah studi terhadap Sunnah atau hadits Rasul menjadi tema yang sangat menarik.

Agar Sunnah selalu membumi dan sekaligus melangit di tengah masyarakat, maka kita memerlukan sebuah konsep atau metodologi bagaimana berinteraksi terhadap Sunnah dengan benar dan ilmiyah, dan dikarenakan oleh maqasid (tujuan) secara umum diturunkan syariat Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, maka kita harus selalu mampu mengkomunikasikan antara Sunnah dan kemaslahatan tersebut dalam berbagai lini kehidupan, dalam istilah Arab dikatakan “at ta’amul al maqasidi” atau “at ta’amul al mashlahi”, inilah yang penulis maksud dengan interaksi dengan Sunnah berbasis maqasid.

Kesuksesan dalam merumuskan konsep ini akan menjauhkan kita dari interaksi kaku dan ekstrim yang selalu berupaya untuk melaksanakan semua yang datang dari Nabi secara harfiah (tekstual) dengan alasan Sunnah, tanpa memperhatikan tujuan disyariatkannya sesuatu yang dikatakan atau yang dilakukan oleh sang panutan itu, atau tanpa membedakan mana yang tekstual dan mana yang kontekstual. sebagaimana metode ini juga akan membimbing kita untuk tidak terjebak kepada interaksi liberal yang terkesan asal-asalan, selalu mengedepankan kemaslahatan dengan segala bentuk kebebasan berpikir tanpa batas, bahkan kemaslahatan dianggap diatas segala-galanya meskipun akan mengorbankan hadits dan Sunnah yang telah nyata shoheh dan qath’i.

At ta’amul al maqasidi (interaksi berbasis maqasid) merupakan sebuah konsep alternatif moderat yang akan menengahi kedua kubu ekstrim diatas, karena ia tetap mengedepankan “mashlahah” tanpa mengabaikan otentisitas sebuah Sunnah atau teks syari’ah secara umum.

B. Subtansi dan dasar pemikiran ta’amul maqasidi :

Ta’amul maqasidi (interaksi berbasis maqasid) terhadap hadits atau Sunnah mencakup dua sisi sekaligus yaitu: pemahaman dan aplikasi. Maksudnya adalah upaya memahami kandungan yang terdapat dalam hadits dan Sunnah Rasul serta penerapannya pada realitas yang harus selalu berorientasi kepada pembuktian dan perwujudan maqasid syari’ah yang berujung kepada kemaslahatan umat.

Metode seperti ini adalah sebuah keharusan, karena berinteraksi dengan Sunnah rasul dengan berbasis maqasid adalah Sunnah itu sendiri. Dengan arti kata Nabi Muhammad SAW lah sebagai guru pertama yang telah mengajarkan kita bagaimana berinteraksi yang benar dalam memahami dan mengamalkan Sunnah beliau. Hal ini terlihat pada banyak interaksi sosial antara beliau dan para sahabatnya. Salah satunya ketika beliau mendapatkan satu pertanyaan dari dua orang berbeda, pertanyaannya adalah “bolehkah saya mencium istri disiang Ramadhan?” ketika yang bertanya itu adalah seorang pemuda beliau langsung menjawab “tidak boleh” tetapi ketika pertanyaan yang sama muncul dari seorang kakek tua beliau berkata “tidak mengapa” karena beliau tau bahwa kakek tersebut akan mampu menahan gejolak nafsunya. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa dibalik hukum tersebut ada illat, yaitu kekhawatiran akan mempengaruhi keabsahan ibadah puasa. Hari ini kalau kita menghadapi pertanyaan yang sama yang datang dari seseorang yang sudah tua, kita tidak mesti menjawab sebagaimana jawaban rasul diatas dengan alasan Sunnah, karena bukan tidak mungkin illat hukumnya ada pada orang tersebut. Begitulah interaksi terhadap Sunnah berbasis maqasid.

Metode ini juga terlihat jelas dalam rekaman sejarah para sahabat yang selalu berusaha untuk memahami dan menerapkan hukum dengan bersandar kepada maqasid syari’ah yang tak jarang menyebabkan mereka melaksanakan sesuatu diluar ketentuan umum, meskipun hukum tersebut bersifat sesaat.

Contohnya apa yang dialami oleh sahabat Rasul Amr bin ‘Ash ketika dalam perjalanan perang Zatussalasil, dimalam harinya dimusim dingin beliau bermimpi yang mengharuskan beliau mandi, akan tetapi beliau hanya bertayammum lalu shalat menjadi imam untuk para sahabatnya, ketika peristiwa itu didengar oleh Nabi beliau berkata: “Hai ‘Amr, apakah engkau shalat (bahkan menjadi imam) sementara kamu dalam keadaan junub?”. ‘Amr menjawab: “ya Rasulullah, hal itu terpaksa saya lakukan karena saya takut mati kedinginan, sedangkan Allah berfirman: “janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap dirimu”3. mendengar jawaban tersebut Rasulullah senyum tanpa mengomentari4.

Justru Rasulullah SAW menunjukkan penolakannya dan ketidaksetujuannya terhadap kelompok yang memahami hadis atau Sunnah secara jumud, kaku dan ekstrim, sebagaimana diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib, ketika Rasulullah SAW megutus pasukan perang kemudian beliau memilih seorang Amir (pemimpin), lalu pemimpin tersebut menyalakan api unggun dan menyuruh mereka masuk kedalamnya (untuk menguji ketaatan mereka), sebagian diantara mereka ada yang ingin masuk karena ingin mengamalkan hadis Rasul tentang kewajiban taat kepada pemimpin dalam kondisi apapun, ketika peristiwa itu sampai kepada Rasul beliau berkata (dengan nada tidak setuju) “seandainya mereka masuk dan mentaatinya niscaya mereka tidak akan keluar lagi sampai hari kiamat”, setelah itu beliau memuji sebagian yang tidak mau mentaatinya5.

Sesungguhnya konsep interaksi berbasis maqasid terhadap hadis baik dari segi pemahaman maupun aplikasi atau penerapannya haruslah terlaksana melalui tahapan- tahapan yang sistematis serta menggunakan adawaat manhajiyah (perangkat ) agar bisa sampai kepada konklusi yang benar, dan terlaksananya Sunnah sesuai dengan yang diinginkan syariat Islam itu sendiri. Berikut ini penjelasannya secara ringkas:

B. I. Interaksi Berbasis Maqasid dari sisi Pemahaman (at ta’amul al maqasidy al fiqhy ) :

Berinteraksi dalam memahami hadis rasul memerlukan langkah-langkah dan tahapan-tahapan sebagai berikut:


1. Memastikan otentisitas sebuah hadis serta mempelajarinya secara tematis.
Salah satu dari problem besar dalam studi hadis adalah otentisitas materi hadis itu sendiri, hal itu dikarenakan oleh banyaknya materi hadis yang diriwayatkan dengan lapal-lapal yang berbeda sehingga dengan perbedaan itu bisa menimbulkan penambahan makna. Bisa saja hal itu terjadi dikarenakan oleh banyaknya perawi yang melakukan riwayat bilma’na atau memang Rasul sendiri yang mengungkapkan dengan lapal yang berbeda itu pada waktu yang tidak bersamaan. Disini pertanyaan yang muncul adalah manakah yang benar benar datang dari Rasul?, jika ternyata semuanya terbukti datang dari Rasulullah Saw maka perlu dilakukan studi tematik terhadap riwayat-riwayat itu sebelum menarik kesimpulan hukum, tetapi kalau otentisitasnya hanya terbukti pada sebagian saja maka hanya itulah yang dipakai sedangkan yang lainnya tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam kaitannya dengan otentisitas hadis yang paling berperan adalah ilmu al jarh wa al ta’dil atau apa yang sering disebut dengan metodologi kritik hadis yang meliputi dua hal, yaitu kritik sanad dan kritik matan, maka menguasai ilmu tersebut adalah sebuah keharusan bagi siapa saja yang berminat menjadi peneliti dalam bidang hadis.


2. Mengenali tabi’at tashorruf (tingkah laku) Rasulullah SAW.
Sikap dan tindakan yang muncul dari Rasul secara umum baik perkataan maupun perbuatan, tidaklah berstatus sama karena fungsi dan kedudukan beliau yang memang bukan satu, melainkan banyak. Antara lain beliau sebagai Rasul, mufti, hakim, pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Kalau kita ingin memahami sebuah hadis maka harus membedakan apakah hadis itu muncul disaat beliau memposisikan dirinya sebagai Rasul, sehingga ia berdimensi universal yang berlaku bagi seluruh umat Islam pada semua waktu dan tempat atau bukan, sebab status sikap dan tindakan Muhammad saw akan berbeda-beda nilai syari’atnya seiring dengan perbedaan fungsi dan posisi beliau. Sebagai contoh, kebijaksanaan Rasul dalam membagi tanah rampasan perang adalah kebijakan beliau sebagai seorang peminpin, bukan sebagai Rasul. Oleh sebab itu Umar bin khottab ketika menaklukan Iraq tidak mau membagikan tanah Iraq kepada para sahabat yang ikut berperang karena kemashlahatan yang dulu ada sudah terkalahkan, meskipun Rasul pernah membagi bagikannya 6.

3. Mempelajari situasi dan kondisi datangnya hadis.
Mengetahui situasi dan kondisi munculnya sebuah hadis akan sangat membantu kita dalam memahami hadis tersebut karna dengannya kita akan bisa memahami maksud hadis yang sebenarnya apakah ia berlaku umum atau untuk situasi dan kondisi tertentu saja. ketika Rasul membolehkan Abdurrahman bin auf untuk memakai kain sutra maka hukumnya tidaklah berlaku umum karna kebolehannya disebabkan oleh situasi tertentu (7)

4. Menggali hukum syar’i yang terkandung dalam teks hadis.
Sebagian besar dari teks hadis mengandung lebih dari satu hukum hal ini mungkin disebabkan oleh tabi’at lapaz itu sendiri seperti lafaz musytarok, atau tabi’at shigot kalimat atau munkin saja disebabkan oleh adanya peluang analogi hukum. disisi lain dalam memahami Sunnah atau hadis haruslah selalu memperhatikan dua konsekwensi hukum yaitu hukum umum (al iqtidho’ al ashly) atau hukum asal yang berlaku secara universal dan hukum khusus ( al iqtidho’ attaba’i) yang berbeda dengan hukum asal yang penerapannya hanya pada hal-hal tertentu yang memiliki legelitas secara syar’i (8).pemberlakuan hukum jenis yang kedua ini hanyalah bersifat temporal dan kondisional. ketika Rasulullah SAW mengatakan “Nikah itu adalah Sunnahku siapa yang tidak mau menikah berati ia tidak termasuk golonganku” (HR Bukhori Muslim), hukum umum yang terkandung dalam hadis ini adalah keharusan menikah bagi siapa saja yang merasa mampu agar tidak dikatakan sebagai orang benci Sunnah, namun penerapannya kepada berbagai individu bisa saja berbeda dengan ketentuan umum tersebut, bahkan ada diantara ulama besar yang memilih untuk tidak menikah seperti Ibnu Taimiyah ,Imam Nawawi dan orang-orang besar lainnya yang sangat sulit bagi kita untuk mengklaimn mereka sebagai kelompok yang benci Sunnah, oleh karena itulah para ulama – dan mereka sedang menerapkan metode interaksi ini- mengatakan nikah itu hukumnya ada lima(9).

Selain tahapan-tahapan diatas dalam memahami Sunnah yang beroreantasi maqasid, diperlukan al adawat al manhajiyah (perangkat yang bersifat metodologi) yang diambil dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan masalah fiqhul hadis. Perangkat-perangkat yang akan mendukung kesempurnaan pemahaman Sunnah itu antara lain:

1. Mengetahui keistimewaan bahasa rasul (khushushiyah allughoh an nabawiyah)
Bahasa rasulullah SAW memiliki keistimewaan tersendiri. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan Jawami’ Al kalim, bahasa yang mencakup. terkadang beliau mengungkapkan kalimat-kalimat yang begitu pendek, tapi ternyata maknanya sangat luas dan mencakup. keistimewaan lain yang dimiliki oleh bahasa rasul adalah Robbaniyatul Mashdar (sumbernya dari Allah) khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum. Ketika beliau ditanya tentang pakaian yang boleh dipakai bagi yang sedang berihram, beliau justru menjelaskan pakaian-pakaian yang dilarang untuk dipakai selama berihram, itu menandakan bahwa jenis pakaian yang dilarang jumlahnya terbatas, sedangkan yang dibolehkan jumlahnya tidak terbatas. Inilah salah satu bentuk kecerdasan yang dimiliki Rasulullah (10)

keistimewaan bahasa yang dimiliki oleh rasulullah menyebabkan bahasa nya tidak bertele-tele, tepat sasaran dan tidak kontradiktif antara yang satu dengan yang lain.

2. Al qowa’id al haditsiyah yang berkaitan dengan Fiqhul hadits
Diantara perangkat yang harus dimiliki dalam memahami hadis rasul adalah mengerti akan berbagai kaidah-kaidah dalam ilmu hadis yang akan berhubungan langsung dengan lafadz-lafadz dan makna-makna, antara lain:

1. Mengenal ghoribul hadis.
2. Mengenal mukhtalafatul hadis yaitu hadis-hadis yang berbeda-beda, ini disebut juga oleh para ulama hadis dengan Musykilul Atsar.
3. Nasikh wa mansukh, untuk mengetahui mana hukum hadis yang masih berlaku dan mana yang sudah dihapus hukumnya.


3. Al qowa’id al ushuliyah al lughowiyah
Kaidah-kaidah usul fiqh yang berkaitan dengan pembahasan lafadz dan kata ini juga disebut dengan qowaid tafsir nushush (kaidah hiterpetasi terhadap teks) kaidah ini dapat dibagi kepada dua bentuk yaitu :
1. Ushul dilalah al afadz ‘ala alma’ani (kaidah kaidah yang berkaitan dengan tunjukan ma’na kata ) seperti haqiqi dan majadzi, murodif dan musytaroq, aam dan khos dan lain.-lain. Kaidah ini sangat penting diketahui agar dalam memahami hadits bisa menempatkan lapaz pada kategorinya masing-masingyang hukum dan mana yang majazi, dan seterusnya.
2. Qowaaid bayanatil alfadz (kaedah-kaedah yang berkaitan dengan penjelasan makna lapadz) seperti : taqyiidul mutlaq, takhsisul aam dan bayanul mujmal dan lain-lain.

B. 2. Interaksi berbasis maqasid dari sisi penerapan atau aplikasai sunah (at ta’amul al maqasidi at tanzily).

Interaksi terhadap sunah tidak hanya sebatas memahami, tetapi juga aplikasi secara riil dari apa yang telah dipahami, karena tidak ada artinya hadits dan Sunnah kalau tidak diimplementasikan pada realitas masyarakat.

Sebagaimana memahamii hadis yang memerlukan langkah-langkah dan tahapan-tahapan, begitu juga halnya dengan penerapannya. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan Sunnah adalah:

1. Fiqhul waqi, yaitu mengenal realitas masyarakat atau individu yang akan diterapkan hukum. Terkadang hukum yang sudah dipahami secara benar dari hadis tidak bisa langsung diterapkan seperti yang dipahami. Dikarenakan oleh penerapannya bisa menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, oleh karena itu perlu memahami realita masyarakat atau individu yang pada akhirnya tidak jarang hukum yang diterapkan berbeda dengan apa yang ada didalam Sunnah. terkait dengan fiqh realita ada beberapa hal yang akan bisa merubah realitas hukum yaitu:
1. perubahan zaman, perubahan zaman baik kearah kemajuan maupun kemunduran, harus menjadi pertimbangan dalam penerapan Sunnah, karena perubahan tersebut akan bisa berubah menjadi hukum. Kemajuan ilmu dan teknologi yang kita rasakan saat ini telah mengharuskan kita unutk mentelaah kembali hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan AsSunnah pada masa lalu. Seperti masalah riba. Salah satu dari bentuk riba adalah perdagangan dengan bentuk barter yang penerimaannya dalam waktu yang tidak sama, seperti gandum dan korma, atau padi dan gula yang serah terimanya dalam waktu yang berbeda, akan tetapi ketika sistem itu dilakukan oleh dua negara yang berjauhan sehingga tidak mungkin masing-masing menerima barang dalam waktu yang sama, maka hukumnya dapat ditolerir, karena kalau tetap dihukumkan riba, sedangkan riba hukumnya haram, maka akan menimbulkan kesulitan bagi kedua negara dalam memajukan ekonominya.
2. Realitas tempat.
Tempat dengan segala bentuk perubahannya juga akan bisa mempengaruhi penerapan Sunnah atau hadis sehingga tidak mustahil sebagian Sunnah tidak bisa daiterapkan pada tempat-tempat tertentu. Ketika rasul mengatakan,” jika kalian qadha hajat (buang air) maka janganlah mengahdap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi hadapkanlah kebarat atau ketimur” (HR. Bukhari). Saya pikir hadis ini berlaku hanya untuk mereka yang tinggal dinegara yang arah kiblatnya bukan kebarat dan bukan ketimur.
1. Realita pribadi yang berbeda-beda.
Didalam berinteraksi dengan Sunnah, khususnya pada sisi aplikasinya haruslah selalu menjadi perbedaan-perbedaan kepribadian yang terdapat dalam setiap inidividu sebagai bahan pertimbangan, karena perbedaan tersebut akan menyebabkan perbedaan hukum yang berlaku pada masing-masing mereka. Contoh: berdasarkan kepada Sunnah yang soheh, meminta jabatan itu tidak dibolehkan, tetapi pada kenyataannya ada sahabat yang meminta jabatan kepemimpinan kepada rasul lalu beliau memberinya, dan pada saat yang sama ada yang meminta tapi tidak dikabulkannya, seperti Abu Dzar al Ghifari(11).
1. Perbedaan adat istiadat (‘urf)
Diantara yang harus diperhatikan juga dalam penerapan hadis atau Sunnah adalah adat dan kebiasaan yang berlaku ditempat itu, karena pada masalah-masalah tertentu ‘urf bisa menjadi fokus penerapan hukum, sehingga apabila ‘urfnya berubah akan berimplikasi kepada perbedaan hukum.
1. Perbedaan niat dan motivasi
Satu perbuatan jika dilakukan oleh dua orang dengan niat yang berbeda, maka status hukumnya bisa berbeda juga. Memberikan sesuatu kepada orang lain bisa menjadi haram apabila tujuannya untuk menyogok, dan bisa juga menjadi dianjurkan apabila tujuannya sebagai hadiah mempererat tali silaturrahmi.

2.Fiqhul wajib ‘ala al waqi’ (mencari hukum yang tepat dan sesuai dengan realita)

Ketika realita masyarakat sudah dibaca secara seksama dan telah dipahami semua bentuk perubahan yang terjadi, maka langkah berikutnya adalah mencari dan menetapkan hukum yang tepat dengan realita tersebut dengan mengedepankan kemaslahatan.

Disini perlu ditekankan bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang sejalan dengan ruh syari’at, bukan kemaslahatan yang dirumuskan oleh logika dan hawa nafsu semata atau kepentingan, disamping itu juga perlu diingat bahwa tidak semua hukum yang bisa berubah seiring dengan perubahan realita, karna diantara hukum itu selain ada yang ditetapkan dengan dalil dalil zonni ada pula yang didukung oleh dalil dalil qoth’i.yang terakhir ini kalaupun terjadi perubahan padanya itu hanya bersifat pengecualian (min bab al istisna’) bukan hukum umum yang berlaku untuk semua.

Inilah dua tahapan penting atau dua langkah yang harus dilalui dalam penerapan hadis agar pelaksanaannya selalu berpihak kepada pembelaan eksistensi maqasid.

Adapun perangkat metodologi yang diperlukan dalam mengimplementasikan Sunnah adalah sebagai berikut :

1. Maqasid al hadis (tujuan atau sasaran dari hadis dan Sunnah )
Pada kenyataannya Sunnah dapat dibagi kepada dua kategori,pertama : Sunnah dalam bentuk perkataan, perbuatan dan diamnya Rasul terhadap satu perbuatan yang dilakukan sahabat. Kedua: Sunnah dalam bentuk manhaj atau sebab munculnya perkataan dan perbuatan tersebut.

Pada kategori pertama ketauladanan baru diakui ketika kita mengatakan seperti apa yang dikatakan Rasul, atau disaat kita melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Rasul . kalau berbeda maka akan di cap sebagai penodaan terhadap Sunnah. Lain halnya dengan bentuk Sunnah pada kelompok kedua, kita tidak dituntut untuk melakukan persis seperti apa yang dilakukan oleh Rasul atau mengatakan persis seperti apa yang dikatakan beliau, karena substansi Sunnahnya tidak terletak pada qoul (ucapan) dan fi’il (tindakan)-nya, akan tetapi pada maqasid atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini pertanyaan yang paling pantas untuk diajukan adalah” kenapa rasul berkata demikian” atau “kenapa rasul berbuat demikian? ” ketika kita mampu menjawab pertanyaan tersebut lalu kita berusaha melakukan alternatif perbuatan yang mampu mengantar kita kepada tujuan dan maqasid tersebut maka di saat itu kita telah mentauladani rasulullah SAW meskipun bentuk verbalnya berbeda dengan apa yang dilakukan beliau.

Perumusan solusi pada konteks ini belum memadai dengan sekedar kembali kepada apa yang dikatakan atau apa yang dilakukan oleh Rasul, karena yang demikian itu hanya cocok untuk katagori Sunnah yang pertama, bahkan transformasi Sunnah dari waktu kewaktu tanpa memperhatikan maqasid dan tujuannya merupakan penodaan terhadap Sunnah itu sendiri.

Hadis Rasul yang mengatakan seseorang peminpin haruslah dari suku Quraisy (12) adalah satu diantara sekian banyak contoh yang tepat untuk Sunnah manhajiah ini. Dengan artikata substansi Sunnahnya tidak terdapat pada ucapannya, akan tetapi pada manhaj (metode) yang menyebabkan ucapan itu muncul sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khaldun, ”kewibawaan yang dimiliki oleh suku Quraisy” (13).

2. Ma’alaatul Hadits (mempertimbangkan apa yang akan terjadi)

Mempertimbangkan akibat-akibat yang akan terjadi oleh penerapan sebuah hadis adalah sebuah keharusan dalam konteks interaksi berbasis maqasid, meskipun dengan konsekwensi diberlakukan hukum lain yang bertentangan dengan teks hadis, hal itu dilakukan demi mempertahankan eksistensi maqasid syari’ah, sehingga dengannya perbuatan yang dibolehkan berdasarkan Al Quran dan Sunnah bisa jadi pada saat-saat tertentu menjadi dilarang karena akan menimbulkan madharat (bahaya) yang lebih besar. Begitu juga sebaliknya. Dalam ilmnu Usul fiqh hal ini diistilahkan dengan sad wa fath dzari’ah.

Inilah yang diterapkan oleh Umar bin Khattab disaat beliau menyurati Huzaifah ibnu al Yaman ketika beliau menikahi perempuan Yahudi, dan memerintahkan Huzaifah untuk menceraikan istri Yahudinya itu, karena kekhawatiran beliau akan akibat yang muncul ketika dibiarkan, yaitu kecendrungan pemuda-pemuda muslim untuk menikahi perempuan Yahudi semata-mata karena kecantikannya, dan ini adalah musibah bagi perempuan muslimah. Kekhawatiran itu sangat beralasan mengingat posisi Huzaifah ketika itu sebagai gubernur disalah satu provinsi dalam pemerintahan Islam. Logika ini jugalah yang diterapkan Dr. Yusuf al Qaradhawi dalam fatwa kontemporernya ketika menyatakan tidak boleh saat ini berkunjung ke masjidil Aqsho, atau saat beliau menganjurkan untuk mengembargo produk-produk Yahudi dan Amerika.

C. Sunnah dan problematika kontemporer

Ada dua bidang penting dalam kehidupan yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertama ilmu dan teknologi, sedangkan yang kedua adalah harta dengan segala bentuk transaksinya. Perkembangan dan kemajuan di dua bidang tersebut dengan segala bentuk konsekwensinya telah memunculkan berbagai bentuk problematika kontemporer yang membutuhkan kepastian hukum. Kemajuan tersebut juga telah membawa dampak besar pada tatanan kehidupan bermasyarakat dengan majunya berbagai sistem kehidupan, sistem perekonomian, perpolitikan, pendidikan, sosial dan kebudayaan. perkembangan zaman itu meskipun telah banyak menyumbangkan hal-hal yang positif bagi masyarakat namun disisi lain ia juga menyisakan banyak PR yang menuntut kita untuk selalu tanggap dan proaktif dalam memberikan solusi yang Islami. Salah satu dari bentuk solusi itu adalah upaya untuk selalu berinteraksi dengan Sunnah, dengan menitikberatkan pada sisi maqasid.

Metode ini bukan hanya diperlukan untuk menghadapi problematika dibidang muamalah dan duniawi saja, akan tetapi ia juga bisa merambah kepada masalah-masalah keagamaan dan ibadah yang sering diidentikkan oleh banyak ulama dengan istilah tauqifiyah dan ta’abudiyah. Dalam masalah haji contohnya, pada beberapa tahun yang lalu kita masih sulit menemukan para ulama besar khususnya di Arab Saudi yang membolehkan jama’ah haji untuk melempar jumroh sebelum tergelilncirnya matahari dengan alasan menyalahi Sunnah, namun sekarang fatwa itu telah berubah bahkan sudah menjadi kebijakan antara ulama dan pemerintah Arab Saudi untuk menetapkan jadwal bagi setiap negara, yang tentu saja diantara jadwal tersebut ditetapkan sebelum tergelincir meatahari. Hal ini penting mengingat seringnya terjadi musibah desak-desakkan disaat melontar.

Contoh lain masih dalam masalah haji, yaitu mabit di Mina yang secara terang-terangan ditemukan atau didapatkan dalam hadis dan Sunnah, bahwa mabit diluar batas Mina telah menyalahi tata cara manasik yang diajarkan Rasulullah SAW. namun dikerenakan oleh para tetamu Allah itu jumlahnya selalu bertambah maka dibolehkan mabit diluar Mina asal tendanya masih bersambung.

Kedua masalah diatas dengan segala bentuk solusi hukumnya merupakan produk interaksi berbasis maqasid terhadap Sunnah.

D. Penutup

Interaksi berbasis maqasid terhadap Sunnah adalah sebuah metode yang mengintegrasikan antara dua sistem pembacaan; yaitu membaca teks syari’at (qiroat nushus) dan membaca realita (qiroatul waqi’). Berpedoman pada kedua bentuk pembacaan itu adalah satu keharusan dalam menyelesaikan problematika kehidupan, karena dengan sistem seperti itu tetap mengedepankan kemaslahatan tanpa mengabaikan otentisitas teks agama. Meninggalkan salah satu bentuk pembacaan tersebut akan terjebak kepada pemikiran jumud dan kaku atau liberal yang keduanya lebih banyak mendatangkan masalah dari pada menyumbangkan solusi.[]





________________________________________

Penulis: Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau, saat ini sedang studi program S3 kajian al Qur’an dan Peradaban Manusia: Probelmatika dan Konsep di Universitas Maolaya Ismail Meknes Maroko.


Catatan kaki:

1 Q.S. Annajm: 3-4
2 Q.S. Al Kahfi: 110
3 Q.S. An Nisa’: 29
4 Lihat Sunnah Abu Daud. Vol.I. Hal.36. hadis no.334.
5 .Alijtihad; annash, al Waqi’, al Mashlahah, DR Ahmad Arraisuni dan DR. Jamal Barut (Darelfik alMuasir, Beirut, cet 1 2000) hal: 57
6 .lihat penjelasan nya secara terperinci dalam kitab al Ihkam fi Tamyiiz Al Fatawa ‘An Al Ahkam wa
Tashorrufat alQodhi wa al Imam, karya Syihabuddin al Qorofi .
7. Riyadussalihin Imam nawawi Bab123 no 810
8. Al Muwafaqot fi Ushul asy Syari’ah, Imam asy Syathiby, tahqiq Abu Ubaidah assalmani (dar el
Irfan, Riyadh, cet I 1997),vol III, hal: 293
9. lihat Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Ibnu Daqiqil Aid ( dar el jiel, Beirut,cet II 1995),
hal: 552
10. ibid, hal: 434
11. Zaad Al Ma’ad, ibn Qoyim Al Jauziyah, ( Muassasah Arrisalah Wa Maktabatul Manar, Kuwait, cet
XIV 1986) vol III, hal: 668
12. Sunan Nasai, Hadis no: 5942
13. Mukaddimah Ibn Khaldun, ( dar el Qolam, Beirut, cet V, 1984) hal: 128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar