Rabu, 31 Maret 2010

Ekonografi Rasulullah SAW

BAB I
A. PENDAHULUAN


Sejak masa kenabian pendidikan di bidang ekonomi merupakan kebutuhan yang utama. Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad ketika muda mendapat didikan oleh pamannya, Abu Thalib, sehingga memiliki kecerdasan dan keterampilan profesional dalam urusan ini. Tak heran jika tahapan kesuksesan beliau begitu menjulang.
Berdasarkan ekonografi Rasulullah SAW, pada umur 12 tahun beliau sudah mulai aktif sebagai eksportir ke Syam. Di usia 17-19 tahun beliau sudah menjadi Pengusaha yang mandiri. Beranjak ke usia 22 tahun, beliau telah sangat terkenal di Jazirah Arab sebagai seorang profesional. Kemudian di usianya yang ke-25 tahun, beliau menikahi Siti Khadijah dengan mahar 20 Ekor Onta.
Mahar tersebut menunjukkan kemapanan beliau sebagai eksekutif muda yang sukses dalam perjalanan bisnisnya memimpin kafilah dagang ke Mancanegara. Menjelang usia kenabian, beliau mendapat gelar Pengusaha Terpercaya (“Al Amin”), Tokoh Arbirtrer & Konsultan Dagang Internasional. Suatu “sertifikasi” paling prestisius di masanya. Bahkan beliau telah berbisnis hingga ke 17 Negara.
Motivasi yang sedemikian tentu bukan lantaran pengejaran status dan keuntungan semata. Dalam sejarah para Nabi, Utusan-utusan Allah SWT senantiasa melakukan dakwah ekonomi mengiringi dakwah ketauhidannya. Hal ini karena Islam adalah agama yang syamil mutakammil , ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Permasalahan akidah tidak hanya urusan ibadah ritual, melainkan sebaliknya setiap aktivitas manusia masuk dalam kategori bentuk ibadahnya kepada Allah.
Simak saja kisah mengenai kaum Nabi Syu’aib dalam Al-Qur’an, Surah Hud ayat 84 dan 85.

                                       ••       

84. Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."

85. Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.

Pada ayat tersebut terlihat bahwa ajakan Nabi Syu’aib kepada kaumnya untuk menyembah Allah hanya dalam satu kalimat. Sedangkan kalimat selanjutnya hingga akhir adalah permasalahan ekonomi. Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap urusan muamalah maaliyah umatnya.
Demikian pula dalam konteks kekinian, krisis global yang baru terjadi merupakan pertanda lemahnya perekonomian umat sehingga perlu penataan sebagaimana mestinya. Kerapuhan sistem kapitalis, telah berkali-kali menunjukkan kenyataan yang pahit. Bahwa sistem bunga yang selama ini dianut, tidak memberikan apa-apa kecuali lingkaran krisis yang tak berujung.
Bagaimana tidak, dalam konsepnya jika perekonomian membaik maka bunga akan turun, dampaknya tabungan dan mata uang lokal juga akan menurun. Namun di sisi lain investasi akan meningkat, seiring dengan itu, permintaan dan konsumsi juga naik sehingga menaikkan laba perusahaan dan indeks di bursa. Pada konteks makro, hal tersebut menurunkan tingkat pengangguran sehingga daya beli pun meningkat. Namun lagi-lagi terjadi dilema, karena hal ini akan mendorong kenaikan harga dan inflasi serta menyebabkan kontraksi.
Jika terjadi kontraksi, bunga akan naik, kemudian tabungan dan rupiah akan naik mengikuti. Sebaliknya dari kasus ekspansi yang disebutkan di awal, di sini investasi, permintaan dan konsumsi akan turun dan seterusnya hingga menurunkan daya beli dan tingkat harga. Hal ini akan memacu penurunan inflasi. Inflasi turun, bunga pun diturunkan dan seterusnya siklus ini akan terus berulang antara boom dan resesi, tanpa ada satu kondisi di mana terjadi keseimbangan perekonomian .
Hal inilah yang menjadi perhatian utama ekonomi Syariah. Yakni untuk membangun keseimbangan antara sektor riil dan moneternya. Inti kajiannya bukan sekedar pengharaman bunga atau riba, tetapi meliputi segenap sistem secara keseluruhan, baik itu fiskal, keuangan, voluntary ataupun commercial.
Bagaimanapun, ekonomi Islam merupakan ekonomi yang dinamis dan berkembang. Saat ini estafeta konsep, teori, dan aplikasinya masih dalam proses dan belum baku. Oleh karena itu, pendidikan ekonomi Islam harus memiliki metode khusus, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.





BAB II
B. TELAAH PUSTAKA


2.1 Definisi Pendidikan
Secara teori, pendidikan berbeda dengan pengajaran yang dalam bahasa arab disebut taalim, sementara pendidikan disebut tarbiyah . Pengajaran meliputi proses belajar mengajar atau proses menuntut ilmu yang melibatkan pengajar, murid, sarana dan metode pembelajarannya sehingga peserta didik menjadi ‘alim – berilmu pengetahuan.
Pendidikan sendiri merupakan proses mendidik yang melibatkan penerapan nilai-nilai. Di dalamnya terdapat proses pemahaman, penghayatan, penjiwaan dan pengamalan. Sehingga hasil dari pendidikan ini adalah menyangkut gaya hidup peserta didik (meliputi akhlak dan cara menyikapi keadaan).
Namun kita tidak bisa mendidik tanpa memberi ilmu, dan begitu pula sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang cerdas tetapi rusak akhlaknya. Masyarakat yang maju di berbagai bidang tetapi tidak peduli terhadap sekitarnya. Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Sehingga dalam proses membangun dan membina, pengajaran dan pendidikan sama-sama penting. Demikian pula sinergi setiap elemen pendidikan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri, dibutuhkan paduan pendekatan, metode dan teknik yang secara bersama-sama dijalankan dalam proses pendidkan tersebut.

Diagram 1. Proses Pencapaian Tujuan Pendidikan










Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 21.

2.2 Tujuan Pendidikan Ekonomi Islam
Dalam konteks ekonomi Islam kajiannya akan lebih spesifik. Bagaimana suatu pendidikan yang baik akan menghasilkan seorang Umar bin Abdul Azis yang cerdas mengatasi krisis seperti pendahulunya sang Khalifah Umar ibnu Khattab. Pendidikan dan pembelajaran yang Umar lakukan telah banyak dan sepatutnya menginspirasi metode pendidikan saat ini agar dapat melahirkan generasi-generasi yang serupa.
Bahkan dalam suatu riwayat terkait tentang pentingnya pendidikan ekonomi Syariah menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra. berkeliling pasar, dan berkata :


لا يبع في سوقنا الا من قد تفقه في الدين
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam”. (H.R.Tarmizi)
Penekanannya sangat jelas bahwa dalam mengembangkan harta, berinvestasi dan berbisnis, serta kegiatan ekonomi lainnya tidak boleh sekehendak hati, tetapi harus sesuai petunjuk agama (ad-din).
Demikian arahan pendidikan ekonomi Islam adalah untuk mempelajari, mendalami dan mengeksplorasi serta mengembangkan kaidah-kaidah Islam dalam bermuamalah. Sehingga dapat menemukan pemecahan atas persoalan ekonomi yang terjadi di masyarakat, bukan sekadar menghidarkan diri dari hal-hal yang syariat larang. Maka, jika dalam metode pengajaran secara luas, outputnya adalah seorang ’alim (dibaca: berilmu), maka pada kasus pendidikan ekonomi Islam, tujuannya adalah melahirkan ekonom-ekonom mujtahid.
Disebut ekonom, sebab ia mendalami dan mengembangkan ilmu ekonomi baik secara tekstual maupun kontekstual. Dinamakan mujtahid, karena ia turut mengeksplorasi khazanah ilmu syariah seperti ushul fiqh, tarikh tasyri’, fiqh muamalah, dan lain-lain, dalam mendukung perekonomian yang searah dengan maqasid syariahnya.
Nampaknya hal tersebut mungkin sulit pencapaiannya saat ini, tetapi dengan metode pendidikan yang komprehensif dan terintegrasi, ke depan pendidikan bervisi sedemikian dengan izin Allah SWT bukanlah impian. Upaya tersebut diantaranya dengan mewujudkan pendidikan ekonomi syariah yang mulai dirintis sejak tingkat dasar hingga menengah. Bahkan di awal Januari 2009 juga telah mulai diangkat inisiasi pemberian pelajaran ekonomi Islam di seluruh madrasah di Indonesia.
Meskipun tertinggal jauh dengan Malaysia yang telah mengajarkan ekonomi Islam pada tingkatan SMU sejak lebih dari 20 tahun lalu. Inisiatif seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Tasikmalaya, Yayasan Perguruan Al-Azhar, dan baru-baru ini akan mulai dirancang untuk seluruh sekolah Yayasan Muhammadiyah, sangat layak diapresiasi dan diteladani oleh semua pihak, baik pemerintah maupun swasta. Agar menjadikan pendidikan ekonomi Islam sebagai pelajaran wajib dan memberikan dukungan terhadap pengajaran subjek tersebut.
Bentuk dukungannya bisa beragam mulai dari penyediaan pelatihan, sarana dan prasarana hingga penerbitan buku-buku penunjang. Sebagaimana telah dipelopori oleh beberapa lembaga pendidikan seperti STEI SEBI dengan penerbitan buku penunjang hingga tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA). Hal demikian menunjukkan pentingnya pendidikan sejak usia dini, karena sejatinya mempelajari ekonomi Syariah merupakan tahapan pendidikan yang bersinergi sesuai dengan tahapan tingkat pendidikan (lihat diagram 2).
Pembelajaran ushul fiqh misalnya, atau fiqh muamalah, memerlukan waktu dan pengetahuan dasar lainnya yang cukup untuk dapat memahami dan mengeksplorasinya. Sehingga metodenya pun membutuhkan model yang khusus untuk menjaga kualitas mutu pendidikan.
Diagram 2. Peran Pendidik dan Peserta Didik dalam Setiap Tahapan Tingkatan Pendidikan

Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 20.





BAB III
METODE PENULISAN


3.1 Metode Penulisan
Penulisan dilakukan mengikuti metode deskripsi-eksplorasi yang benar dengan menguraikan secara cermat cara/prosedur pengumpulan data dan atau informasi, analisis-sisematis, mengambil simpulan, serta merumuskan saran atau rekomendasi penulis juga menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) serta pendekatan studi kepustakaan. Pendekatan studi kepustakaan dilakukan dengan mengamati, mencermati termasuk mengevaluasi tulisan – tulisan mengenai topik tersebut.
3.2 Prosedur Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data sekunder.
Data sekunder, data yang diperoleh dan bersumber dari literatur, karya ilmiah yang dipublikasikan serta informasi dari instansi yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Pengumpulan data melalui sekunder ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian .









BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
(MENUJU PENDIDIKAN KONTEKSTUAL)


4.1 Inspirasi Metode Pembelajaran Aktif
Ketika membicarakan model pendidikan yang sesuai untuk ekonomi Islam, seringkali sebagian kita beranggapan bahwa pengajarannya akan terbatasi pada kajian fikih muamalah. Padahal sesungguhnya kajian kesyariahan bukanlah batasan, melainkan arahan menuju pasar yang adil dan kehidupan yang seimbang. Sebagaimana definisi bahasanya, bahwa syariah merupakan jalan menuju sumber mata air. Sehingga pada praktik pengajarannya juga sangat dinamis, dalam hal ini struktur pembelajaran aktif (active learning) dapat pula menjadi inspirasi bagi pendidikan ekonomi Islam.
Gambar 1. Struktur Active Learning
Elements
talking and listening
writing
reading
reflecting

Learning Strategies
small groups cooperative work case studies simulations
discussion teaching problem solving journal writing

Teaching Resources
Readings homework assignments outside speakers
Teaching technology prepared educational materials commercial and educational television

Sumber : Meyers, Chet, date, Promoting active learning : strategies for college classroom, New York: Jossey-Bass Inc., Publishers, hlm. 20.
Perhatikan, misalnya konsep urf dalam metodologi ushul fiqh . Keberadaan konsep ini sebagai dalil, memperlihatkan kedinamisan dan problem-solving oriented yang menjadi ciri pendidikan ekonomi Islam. Bagaimana dengan urf, diperbolehkan misalnya muzara’ah, mudharabah, dan adanya penggunaan uang di berbagai negara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. Seperti halnya pembolehan penggunaan dinar dan dirham yang sebenarnya berasal dari Romawi dan Persia.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam mempelajari Syariah, seorang Muslim harus juga memahami kontekstual dari tujuan Syariah itu sendiri. Karena Syariah bukanlah sekadar suatu kaidah ansich yang tidak bisa diperluas sesuai dengan kebutuhan dan maslahahnya. Melainkan suatu metodologi pemecahan masalah yang dalam implementasinya dapat berkembang sesuai dengan kondisi zaman. Kecuali terkait masalah ibadah.
Patut kita contoh keteladanan Umar bin Khattab misalnya dalam melakukan reformasi moneter di zamannya . Beliau tidak semata berpaku pada apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam menjalankan perekonomian, tetapi juga secara kebutuhan melakukan pengembangan. Bahkan Umar sempat mengusulkan penciptaan mata uang dari kulit onta, di samping pengharaman memperdagangkan uang dan penimbunan. Sebab, beliau sangat mengerti bahaya kenaikan harga dan turunnya daya beli (inflasi).
Dengan demikian, pendidikan ekonomi Islam haruslah berlandaskan secara kuat pada Al-Qur’an dan Hadits, serta dalil-dalil syar’i lainnya. Namun juga diiringi dengan kajian kontekstual yang berorientasi pada pemecahan masalah kekinian. Sehingga tujuan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin dan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dapat tercapai.
Akan tetapi, kajian kontekstual ini sepatutnya mendorong kita untuk terus berinisiatif, kreatif dan solutif melihat kondisi masyarakat dengan terus menggali khazanah keilmuan Islam. Bukan malah terjerumus meninggalkannya dan mengikuti logika semata. Batasan-batasan Syariah harus tetap dipegang. Sebab tidak boleh berijtihad tanpa ilmu, tanpa ada dalil qath’i yang mendasari. Penggabungan metode tekstual dan kontekstual ini adalah untuk menghindari kejumudan pemikiran, untuk terus mengembangkan ekonomi Islam yang masih senantiasa berproses. Padahal kebutuhan terhadapnya terus meningkat. Sedangkan kejumudan merupakan kemunduran yang besar.
Perkembangan pendidikan ekonomi Islam sendiri telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik nasional maupun internasional. Telah banyak perguruan tinggi di Negara-negara Eropa, membuka program formal di bidang ekonomi islam seperti islamic economics, banking, dan finance. Mereka juga memiliki forum pertemuan ilmiah baik seminar atau lokakarya rutin membahas ekonomi islam. Seperti University of Loughborough dan University of Durham di Inggris yang membuka program S2 dan S3. Bahkan Harvard University di Amerika Serikat selalu menyelenggarakan annual international forum on Islamic economics and finance.
Di tanah air, juga tak kalah berkembang, beberapa lembaga pendidikan telah fokus menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) seperti STEI SEBI, STEI Tazkia dan STIS Yogyakarta. Demikian pula beberapa universitas besar yang menawarkan konsentrasi ekonomi syariah, Magister atau Pasca sarjana bahkan hingga program Doktoral seperti Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Trisakti, IPB, UIN Jakarta, UIKA Bogor dan sebagainya. Belum lagi potensi peningkatan jumlah sumber daya manusia untuk pengembangan ekonomi Islam yang akan semakin bertambah. Menurut Prof. DR. Suroso (2009), untuk program Doktoral saja terdapat potensi sebanyak 2596 orang, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Potensi Peminat Program Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia Tahun 2005 – 2015
No. Potensi DEPDIKNAS DEPAG JUMLAH
PTN PTS PTAIN PTAIS
1 Jumlah Perguruan Tinggi 87 2391 18 520 3016
2 PT yang berminat 75 956 18 520 1569
3 Mahasiswa 375 956 54 520 1905
4 Mhs. Non PT (10%) 38 96 5 52 191
5 Jml. Mhs (3+4) 413 1052 59 572 2096
6 Pondok Pesantren - - - 500* 500*
7 Total 413 1052 59 1072 2596
Catatan : *Jumlah pondok pesantren besar di Indonesia sekitar 5.000 unit, yang mampu mengirimkan mahasiswa ke Program Doktor Studi Ilmu Ekonomi Islam dalam jangka pendek baru sekitar 10% saja atau sebanyak 500 orang.
- BPS Statistik Indonesia 2005/2006
- DEPDIKNAS dan DEPAG, Ditjen Pendidikan Tinggi, disusun dan diolah kembali.
Sumber : Makalah Prof. DR. H. Suroso Imam Zadjuli, SE, Sistim Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam Rangka Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari 2009.
Dengan semakin banyaknya sumber daya manusia yang terdidik dengan ekonomi Islam, disertai metode pengajaran yang mengarahkan para peserta didik kepada pemenuhan kebutuhan bagi pengembangan ekonomi Indonesia melalui ekonomi Syariah, diharapkan kondisi perekonomian Indonesia semakin membaik.




Tabel 1. Kebutuhan Sumber Daya Insan di Indonesia dalam Jangka Menengah dan Jangka Panjang sampai dengan tahun 2035
No. Lulusan Jumlah (orang)
Jangka Menengah Jangka Panjang
1 Doktor Ilmu Ekonomi Islam 2.596 8.400
2 Magister Sain/Magister Manajemen dalam Ilmu Ekonomi Islam 5.192 16.770
3 Sarjana Ilmu Ekonomi Islam 10.384 33.540
4 Diploma 3 Syariah 20.768 67.080
Jumlah 38.940 125.790

Sumber : Makalah Prof. DR. H. Suroso Imam Zadjuli, SE, Sistim Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam Rangka Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari 2009.

4.2 Urgensi Kajian Kontekstual Ekonomi Islam bagi Masa Depan Indonesia
Langkah mendasar dalam meningkatkan perekonomian Indonesia adalah dengan membenahi pendidikan generasi bangsa. Krisis dan kerapuhan sistem ekonomi yang kita hadapi saat ini sedikit banyak merupakan pengaruh dari sistem pengajaran ilmu ekonomi yang keliru yang berasal dari warisan barat berideologi kapitalisme yang memiliki cacat bawaan (epistemological rupture) sehingga tidak dapat menjadi langdasan dalam membangun ilmu sosial yang kokoh .
Pengaruh Eropa terhadap ekonomi Indonesia sangatlah besar sejak sebelum kemerdekaan Negara ini terbentuk. Termasuk pada filosofi kebolehan pengenaan bunga yang mereka bedakan menjadi interest dan usury . Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan (riba). Hal ini dibawa oleh kolonial belanda ke Indonesia yang menjajah selama 350 tahun dan sistem riba itulah yang diterapkan di bumi Indonesia sampai sekarang. Akibatnya banyak rakyat Indonesia yang memiliki paradigma pemikiran seperti orang-orang Eropa (Belanda) yang membolehkan bunga bank karena kurangnya pemahaman tentang ilmu moneter.
Sehingga wajar apabila keberadaan perbankan syariah di awalnya belum mendapat perhatian besar dari masyarakat. Sebab perubahan paradigma memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, metode pendidikan yang khusus dan sosialisasi yang gencar serta komprehensif harus terus menerus dilakukan. Bangsa Indonesia sudah waktunya memiliki konsep perekonomian yang sesuai dengan budaya masyarakatnya, yang memiliki sistem yang berkeadilan, mendorong sektor riil khususnya UMKM, dan menciptakan keseimbangan ril dan moneter.
Indonesia dapat menggunakan beragam instrumen ekonomi Syariah untuk melakukan pengembangan perekonomian tanpa beban utang yang melilit. Mulai dari penggunaan perbankan berbasis bagi hasil untuk menggiatkan sektor riil, pemberdayaan zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal, penerbitan sukuk sebagai sumber dana pembiayaan infrastruktur, dan sebagainya.
Bahkan pemerintah juga dapat memanfaatkan voluntary sector untuk mengembangkan perekonomian. Sebut saja dengan pemberdayaan wakaf produktif. Gunawan (2007) menggambarkan jika asumsi jumlah penduduk Muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10 juta orang, dengan penghasilan antara Rp.1.000.000 sampai Rp.10.000.000 tiap bulan. Kemudian setiap Muslim tersebut memberikan wakaf uang sebesar 1% dari penghasilannya tiap bulan (berkisar antara Rp.10.000 – Rp.100.000). Maka akumulasi dana wakaf uang per bulan akan bergerak antara 100 miliar hingga 1 triliun rupiah.
Artinya, dalam setahun, ada potensi wakaf uang sebesar Rp.1,2 triliun sampai dengan Rp.12 triliun yang dapat berfungsi sebagai potensi dana pengganti utang negara. Di mana dana tersebut dapat dipergunakan oleh Pemerintah untuk menggerakkan perekonomian. Bahkan dalam lingkup kedaerahan, pemberdayaan dana volunter seperti wakaf ataupun zakat misalnya, juga dapat diberdayakan untuk mengembangkan sebuah desa tertinggal.
Sesungguhnya masih banyak lapisan alternatif solusi ekonomi Islam yang belum tergali. Sehingga, dalam lingkup kebijakan pemerintah, dukungan terhadap pendidikan ekonomi syariah merupakan investasi berharga bagi pertumbuhan perekonomian Indonesai ke depan. Baik dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi hingga dukungan pengembangan kurikulum yang berbasis kontekstual dan kompetensi. Sebab dengan pendekatan demikian, ekonomi Syariah dapat berinovasi secara solutif sesuai dengan perkembangan permasalahan perekonomian.

4.3 Langkah Penerapan Metode Kontekstual dan Kendalanya.
Jika untuk mencapai target pangsa pasar perbankan syariah 5,2% dari total aset perbankan nasional saja, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fajriah, menyatakan kebutuhan SDM sebanyak 40 ribu orang yang memiliki basis skill ekonomi keuangan syariah. Apalagi untuk membangun suatu perekonomian Indonesia yang lebih terintegrasi. Sebab saat ini, selain perbankan syariah, tercatat sudah berdiri belasan perusahaan asuransi, reksadana, lembaga bisnis, pegadaian dan entitas syariah lainnya. Baik dalam bentuk suatu institusi syariah secara menyeluruh maupun parsial sebagai unit usaha atau hanya diferensiasi produk/layanan.
Kebutuhan SDM tersebut tentu bukan hanya tuntutan secara kuantitias tetapi sekaligus kualitasnya. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bersama langkah strategis dan sistematis agar kurikulum berbasis kontekstual dan kompetensi ini dapat diterapkan, sejalan dengan visi dan misi arah pengembangan ekonomi syariah, khususnya dalam lingkup perguruan tinggi. Di antaranya yakni:
Pertama, menjadikan kampus sebagai pusat penelitian dengan metode pendidikan yang bersifat problem posing, bukan hanya bersifat banking education. Dengan membangun budaya ilmiah dengan menginternalisasi metode penelitian (laboratorium) untuk setiap mata kuliah yang diberikan.
Kedua, memperbanyak pengadaan sumber-sumber penelitian dan kajian ilmiah di setiap perguruan tinggi yang memiliki konsentrasi ekonomi Islam. Sarananya dapat dimulai dengan mendorong setiap dosen untuk mengadakan penelitan, dan menggunakan hasil-hasil penelitiannya untuk memperkaya bahan-bahan kuliah.
Bagan 1. Memasukkan model kontekstual dalam komponen-komponen utama pendidikan

Sumber : Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 3.
Ketiga, melakukan pengelompokan mata kuliah dan memberikan penekanan pada mata kuliah khusus yang terkait erat dengan pengembangan ekonomi syariah, seperti mata kuliah fikih muamalah, ushul fiqh, dan ekonomi mikro-makro. Keempat, setiap dosen diarahkan untuk memberi pengajaran tidak semata deduktfi dari buku-buku teks, tetapi harus bersama-sama mahasiswanya mengadakan penelitian induktif-empirik dengan sekaligus mempelajari kajian klasik sejarah pemikiran ekonomi dan perekonomian. Hal ini dapat dibangun dengan lingkungan yang mendukung seperti penyediaan laboratorium bahasa dan statistik, dan peningkatan kompetensi dan layanan konsultasi dosen pembimbing.
Gambar 1. Metodologi yang diarahkan dalam pendidikan Perguruan Tinggi

Sumber : Dr. Taliziduhu Ndraha, Manajemen Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988, hlm. 57.
Langkah-langkah tersebut dalam rangka membangun budaya ilmiah yang lahir dari rasa ingin tahun untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dan bermanfaat melalui suatu metode riset atau penelitian. Jika kita mencoba memahami kembali bagaimana sistem Perguruan Tinggi dibentuk sebagai produsen produk-produk pengetahuan sebagaimana tergambar pada Gambar 1, maka setidaknya secara formal, setiap kampus harus mendorong terjadinya proses tersebut untuk juga menjalankan fungsinya sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Sehingga dari kampus-kampus ekonomi Islam nanti akan lahir alternatif-alternatif solusi bagi persoalanan perekonomian Indonesia.
Selain sejumlah upaya untuk menerapkan metode kontekstual sebagaimana disebutkan di atas. Dalam implementasinya, model pendidikan dengan penggabungan metode tekstual dan kontekstual dapat menghadapi sejumlah kendala, antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif tentang ilmu ekonomi keuangan secara spesifik sekaligus ilmu syariahnya, (2) keterbatasan dari segi standar kurikulum, belum ada standar baku kurikulum mana yang akan diikuti, (3) belum ada sinergi yang kokoh antara lembaga pendidikan dan lembaga keuangan syariah untuk mendorong lahirnya penelitian yang aplikatif, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas.
Selain itu, keberpihakan kebijakan anggaran pemerintah pusat dan daerah perlu mendukung pengembangan studi ekonomi syariah. Kita perlu mencontoh Malaysia yang setiap tahun pemerintahnya meneyediakan 200 juta ringgit (sekitar Rp.500 milyar) khusus untuk pengembangan ekonomi Islam. Saat ini pemerintah telah mengganggarkan 20% dari dana APBN untuk pendidikan, namun porsi untuk pendidikan ekonomi Islam belum secara spesifik mendapat anggaran tersendiri. Karenanya, sinergi seluruh pihak haruslah ditingkatkan guna mendorong pendidikan dan pengembangan ekonomi syariah menuju cita-cita perbaikan ekonomi Indonesia ke depan.









BAB V
PENUTUP


Demikian dapat kita simpulkan bahwa pendidikan ekonomi Islam harus mengarah pada tujuan pembentukan dan internalisasi nilai-nilai Islam pada ekonomi itu sendiri. Sebagaimana juga diungkapkan oleh Muhammad Baqir Ash Shadr (2008) bahwa yang kita maksud dengan ’ekonomi Islam’ adalah doktrin ekonomi yang ditinjau dari keutuhan kerangkanya serta keterkaitannya dengan keseimbangan intelektual di mana ia bergantung dan yang menjelaskan sudut pandang ekonomi dalam hubungannya dengan isu-isu yang terkait dengannya.
Sehingga metode pengajaran untuk membentuk kualitas mutu pendidikan ekonomi Islam yang sesuai adalah dengan kurikulum berbasis kompetensi yang menggabungkan pendekatan tekstual dan kontekstual. Dengan metode ini, suatu institusi pendidikan berdedikasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat berbasis problem solving.
Metode semacam ini sebenarnya harus mendasari setiap pendidikan ekonomi baik syariah ataupun konvensional. Prof. Mubyarto (2003) bahkan menegaskan kembali urgensi hal ini, dengan memaparkan 4 kalimat awal pada bab III buku Alfred Marshall, Principles of Economics (1890) sebagai berikut:
It is the business of economics as almost every other science to collect facts, to arrange and interprete them, and to draw inferences from them.
Observation and discription are preparatory activities. But what we desire to reach thereby is a knowledge of the interdependence of economic phenomena …. Induction and deduction are both needed for scientific thought as the right and left foot are both needed for walking (Marshall 1890: 29).

Meskipun pada implementasinya akan menemukan berbagai kendala, upaya untuk melakukan pendidikan ekonomi Islam secara kontekstual ini sangat penting bagi pengembangan dan perbaikan perekonomian Indonesia ke depan. Menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Terjemahan H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. 2006. Jakarta: Khalifa.
Agustianto. Menyiapkan SDM Ekonomi Syariah Profesional melalui Perguruan Tinggi Ekonomi Islam. http://agustianto.niriah.com/2008/04/01/menyiapkan-sdm-ekonomi-syariah-profesional-melalui-perguruan-tinggi-ekonomi-islam/. 1 April 2008.
Ahmadi. Madrasah berperan menyelenggarakan Pendidikan Dini Ekonomi Syariah. http://www.pkesinteraktif.com/content/view/4030/32/lang,id/. 19 Januari 2009.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Terjemahan Tim IIIT Indonesia. 2002. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Pendidikan Ruhani. Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.
Meyers, Chet, date, 1993. Promoting active learning : strategies for college classroom, New York: Jossey-Bass Inc., Publishers.
Mubyarto. 2002. Kekeliruan Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel – Th.I – No.2 – April 2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_2.htm, diakses 21 Januari 2009
Mubyarto. 2003. Teori Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel – Th.II – No.4 – Juli 2003. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_1.htm, diakses 21 Januari 2009
Ndraha, Taliziduhu. 1988. Manajemen Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Bina Aksara.
Perwataatmadja, Karnaen A. Dan Muhammad Syafi’i Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Samana. 1992. Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya. Yogyakarta: Kanisius.
Sardar, Ziauddin. Kembali Ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Massalah. Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin & Helmi Mustofa, 2005. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Setiawan, Azis budi. Kurikulum Ekonomi Syariah untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Majalah Hidayatullah edisi Agustus 2006. Dapat juga diakses di http://www.sebi.ac.id/index.php?Itemid=33&id=19&option=com_content&task=view.
Sukmadinata, Prof. DR. Nana Syaodih. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suroso, Prof. DR. H. Imam Zadjuli, SE,. Sistim Pendidikan dan Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam Rangka Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari 2009.
Yasni, Muhammad Gunawan. 2007. Ekonomi Sufistik: Adil dan Membahagiakan. Jakarta: PT Mizan Pustaka.

1 komentar: